Sabtu, Januari 01, 2011
0
Part - 12
MALAM TERANG TEMARANG di atas ubun-ubun sebuah desa yang penuh dengan pohon-pohon bambu. Bulan terang, langit penuh bintang dan awan-awan kecil meleret sepanjang permukaan buana yang luas, menandakan ikan banyak di laut ketika itu.
Itu yang dikira-kirakan oleh petani yang sedang memegang seekor ular yang barusan dibunuhnya. Ia barusan saja memperbaiki saluran air di pesawahan kepunyaan istrinya Romlah.
Ketika itu Romlah di rumahnya masih saja di ambang ketakutan akan kedatangan Wahab yang mungkin saja dengan tiba-tiba, dan kenangannya pada suaminya yang telah dianggap lenyap itu segera dibunuhnya! Kenangan itu mati terjengkang di depan pintu, tepat ketika Romlah akan ke luar rumah malam itu juga.
Aku harus memberitahukan hal ini kepada suamiku Madikin, karena Madikin adalah suamiku yang sah sekarang.
Ditutupnya pintu rumahnya baik-baik. Tetapi rumah-rumah di desa Pringombo tidak memerlukan kunci, karena betapa pun jauhnya lari seorang maling, pada suatu saat, di mana pun ia berada selagi masih hidup seorang Pringombo, maling itu akan tertangkap.
Perempuan itu dengan keringat di dahi yang berbiji-biji bagaikan butiran timah dalam nyala cahaya bulan, berjalan meniti tebing-tebing tanggul sawah. Madikin ketika itu sedang memperbaiki saluran air yang tersumbat oleh lumpur.
"Mas Madikin," katanya pelahan.
Madikin menoleh.
"Ada apa malam-malam begini kau kemari?"
Romlah ketika itu ditetak oleh suatu kebajikan murni untuk mengutarakan sesuatu, dirangsang oleh pasrah kepada suami yang ternyata kini punya tanggung jawab pada kehidupan.
"Aku akan membicarakan hal ini sekarang," katanya.
"Apa?"
"Mari kita ke pondok itu."
Mereka berdua berjalan meniti pematang menuju sebuah pondok ilalang yang tersembunyi di balik sebuah tebing pematang.
Suara air mendesir melalui saluran bambu, suara angin menyusup helai-helai ilalang pondok itu, bagai angin yang mengganggu rambut perawan.
Bunyi katak tidak mengganggu.
Mereka masuki pondok. Sebiji batang korek api menyalakan jerami di depan pondok itu, dalam sekejap saja nyala api membunyikan gemeretak kerisik-kerisik daun pisang dan dahan kering dalam timbunan jerami.
"Apa?" tanya Madikin.
"Masih cukup airnya?" tanya Romlah.
"Kau mau mengatakan sesuatu yang penting," kata petani itu.
"Ya! Aku senang dengan kehidupan di sini. Waktu aku masih perawan dulu, aku belum bisa merasakan hidup begini. Keras sekali, Mas!"
"Kau mau mengatakan apa. Rom. Apa ngelindur?" tanya suaminya.
"Si Mutalib datang dan mengatakan bahwa pamannya telah kembali dari Jawa." Mula-mula telinga petani itu yang bergerak mendengar kabar itu. Kemudian matanya kelihatan seperti disentuh oleh sebuah kilatan. Giginya mengunyah-ngunyah bibirnya.
"Untuk apa dia pulang? Bukankah dia sudah mati?"
"Semua orang tahu dia sudah mati," Romlah membenarkan.
"Untuk apa dia hidup lagi?"
"Ya! Untuk apa? Dia akan merusakkan apa yang telah kita perbaiki."
"Dia akan merebut kau dari tanganku untuk kedua kalinya," bisik Madikin gemas.
Api jerami kelihatan bertambah jingga. Bulan tetap terang, langit temarang, bintang benderang. Awan sepotong demi sepotong berlayar laju dihembus angin buana yang bebas luas di atas!
Madikin sedang memandang ke atas itu.
"Kenapa dulu sampai ada berita yang mengabarkan kematiannya?"
"Suramah mengatakan dia ikut tentara pemberontak. Dari kawannya ia dengar Wahab mati tertembak."
"Anakku," bisiknya, dan ketika dipegangnya rambut istrinya ketika itu, ia seakan-akan sedang membelai rambut anaknya.
"Suramah benar-benar anakku. Dia tahu siapa asalnya. Dia telah membikin aku tahu siapa diriku. Ketika melihat dia besar, aku hampir tak mengenalnya, karena ketika kau minggat dulu dia barusan empat tahun. Ketika dia menjadi gadis," tiba-tiba dilihatnya istrinya, "aku seolah-olah melihat kau ketika gadis dulu. Kupikir begini jadinya manusia. Begini cepatnya waktu."
Dipandangnya langit. Langit diam.
Dipandangnya istrinya. Romlah diam.
Ia sendiri juga lama terdiam ketika itu, karena kenangannya merayap pada putrinya yang seorang; Suramah, gadis itu telah mengembalikan martabatnya sebagai manusia dan seorang bapa.
"Suramah telah menyebabkan kita pulang asal kembali. Kau tahu, Rom, apa yang dikatakannya kepadaku ketika menjelang kita rujuk kawin lagi? Ini: "Bapak. Kalau bapak betul-betul mau pulang pada ibu, bapak musti ke sawah. Kalau bapak ngelamun saban hari, bapak memikir yang bukan-bukan, lalu bapak berjudi. Awas, Pak, kalau bapak main-main sama ibu lagi, bapak akan Amah bunuh!"
"Sungguh Rom," dipandangnya istrinya sebentar, "sungguh-sungguh dia mengancam aku. Kalau seorang lelaki mengancam, akan kutentang, tapi kalau perempuan mengancam sungguh-sungguh, tanda ia benar-benar akan memperbuatnya!"
Romlah mencoba berdiri, tetapi tangan petani Madikin menggenggam biji lengan wanita itu.
"Mau ke mana lagi kau?"
"Mas!" sahutnya.
"Kau harus berterimakasih pada Suramah."
"Mas!" bisik Romlah dengan suara yang makin menanjak, berisi buah-buah ketakutan.
"Kau takut?"
Romlah mengangguk.
"Kita terancam. Bagaimana kalau anak-anak itu. Wahardi, Ruchani dan Sumiati tahu ayah mereka kembali?"
Madikin tercengang mendengar itu. Disela-sela cenungnya itu, ia mendengar suara air yang nnenari-nari dari saluran bambu terjun ke sawah bawah.
"Dia berdosa! Dia tinggalkan anak-anak yang sudah dibikinnya, lalu ditinggal. Dua tahun dia pergi tanpa kabar berita! Dia berdosa."
"Aku yang berdosa!" bisik Romlah.
"Mengapa?"
"Aku minggat dulu. Tapi itu bukan salahku, bukan?"
Baca selanjutnya, klik disini.