Ucapan salam yang disusul oleh ketukan pintu itu membangunkan Ale dari tidurnya. Ialalu melangkah, karena suara itu amat dikenalnya.Pintu terkuak. Seorang gadis manis dengan bolamata indah berdiri di hadapan Ale.Ada senyum. "Kata Mbak Ratih, kamu tadi kerumah?"Ale mengangguk sambil membalas senyum gadisitu."Maaf ya, Le. Ada eskul tadi di sekolah, jadinyapulang agak terlambat."
"Sudahlah. Kamu masuk dulu, No. Ceritanya nanti saja di dalam."Ale melebarkan daun pintu. Retno melangkah masuk tanpa kata."Pulang sekolah, kamu langsung kemari?" tanya Ale, setelahmereka duduk.Retno mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan.Tampak lelah, raut wajahnya. Ale memandang gadisnya itu. Saya sayang kamu, No,gumam hatinya.Ale tersenyum dan menggeleng pelan.
"Selesai eskul tadi, saya disuruh mengawasi anak kelas satu dan kelas dua yang lagi pada latihanpaskibra. Awalnya sih saya menolak, karena saya ada janji dengan kamu. Tapi, Pak Indramendesak saya agar mengawasi sekaligus memberi pengarahan kepada anak-anak tersebut.Beliau bilang, sayalah yang lebih mengerti tentang paskibra. Ya, sudah. Akhirnya saya nggakbisa menolak."
"Saya mengerti, No," kata Ale. "Saya malah bangga kamu banyak kegiatan. Ke tokobuku dannonton, itu kan masih banyak waktu."
Retno tersenyum. "Makasih, Le, kamu mau ngertiin saya."Ale balas tersenyum. Cinta memang butuh pengertian, No! batinnya. Tapi, kenapa kamu harusberduspa kepada saya? Tadi saya ke sekolah kamu, No. Hendak menjemput kamu. Nggak adaeskul, dan nggak ada latihan paskibra di sana. Kenapa kamu harus berbohong pada saya, No?Ayolah, cerita kepada saya, ada apa dengan kamu? Karena saya amat mencintai kamu.
"Kapan naik gunung lagi, Le?" Pertanyaan Retno membuyarkan lamunan Ale.Ale menoleh. "Mungkin liburan semester. Kuliah dan kegiatan amat menyita waktu saya,"
jawabnya."Nanti saya ikut lagi ya, Le," pinta Retno. "Saya sangat suka dengan suasana pegunungan. Alamhijau, sungai, dan ternak-ternak tani. Jakarta sumpek ya, Le. Polusinya sangat berbahaya."Ale tersenyum mendengar kata-kata Retno yang agak puitis itu. Ia jadi teringat kembali awalpertemuan dengan Retno.Waktu itu, Ale sedang melihat pesta seni pelajar se-DKI Jakarta di Bulungan. Ia yang sebagaiwartawan lepas di sebuah majalah remaja, tertarik dengan seorang gadis yang telah
memenangkan lomba baca puisi. Retno nama gadis itu.Lewat situlah akhirnya mereka jadi akrab. Ale suka main ke rumah Retno, sementara Retnosering main ke kosnya Ale. Mereka sering bertemu, sering jalan sama-sma. Akhirnya, timbulrasa suka di hati mereka masing-masing. Mereka berpacaran.
"Kamu masih menulis cerpen, Le?" tanya Retno."Masih." Ale tersenyum.
"Tapi kok sekarang saya jarang lihat. Setiap saya baca tulisan kamu, paling wawancara profil,atau liputan remaja. Kenapa, Le?"Ale kembali tersenyum. Ia amat suka dengan pertanyaan Retno itu. "Saya menulis cerpen kalaulagi ada ide. Kalau lagi suntuk, mumet, atau pusing, saja jarang bisa nulis cerpen," kata Ale.
"Berarti, saat ini kamu lagi suntuk, Le? Suntuk karena apa?"
Ale agak gugup ditanya seperti itu. "Saya rasa, setiap penulis pasti pernah merasakan
kesuntukan, No. Itu biasa. Begitu pun yang terjadi dengan saya," jawabnya, setelah diambeberapa detik.
Retno memandang Ale dalam, seperti minta kebenaran dalam perkataannya.
Ale cuma mengembuskan napasnya. Sebenarnya, saya suntuk karena memikirkan kamu, No.Sekarang, sepertinya kamu berubah. Kita jarang ketemu lagi. Kamu terlalu banyak alasan untukmenghindar dari saya. Bahkan tadi, kamu sudah berani berbohong kepada saya. Kenapa ini, No?!
Apakah kamu sudah nggak menyukai saya lagi?! Atau kamu sudah bosan pacarandengan saya?!
Diam-diam, Retno menyalahkan dirinya atasperbuatannya selama ini. Maafkan saya, Le. Akhir-akhirini, saya sering mendustai kamu. Seharusnya, hal itunggak pantas saya lakukan. Karena kamu begitu baiksama saya, kamu begitu mencintai dan menyayangi saya.Dan itu saya rasakan selama ini. Tapi... pantaskah sayauntuk kamu cintai lagi, Le? Saya telah mendustai kamu,batin Retno.Tadi, sebenarnya Retno pergi dengan Roni. Padahalsebelumnya, ia sudah janjian dengan Ale mau nonton dan
ke toko buku. Tapi pesona Roni telah membuat Retnolebih baik mengingkari janjinya dengan Ale. Apalagi Roni, sang Ketua OSIS itu begitu banyakdikagumi oleh cewek-cewek di sekolahnya.Kebanggaan?! Dapat menjadi pacar Roni memang suatu kebanggan. Tapi mendustai cinta tulus
Ale, apakah suatu kebanggaan? Oh, ada sesak di dada Retno."No...," suara Ale memecah kebisuan.Retno menoleh."Kamu agak kurusan."
"Benarkah?" Mata Retno begitu indah.Ale mengangguk."Mama juga bilang begitu. Saya sekarang agak kurusan. Mungkin karena saya terlalu memforsirdiri dengan kegiatan sekolah ya, Le? Entahlah. Saya hanya mengikuti saran kamu, bahwa jadiremaja tuh harus kreatif. Harus dapat menggunakan waktu luang dengan berkegiatan, janganhanya berpangku tangan."
"Kamu tambah dewasa, No." Ale tersenyum. "Tapi kamu juga harus ingat, harus membatasikegiatan kamu itu. Jangan terlalu diforsir. Nanti kamu malah jadi sakit."
Retno tersenyum. "Makasih, Le. Akan saya usahakan," katanya. "O, iya, Le. Sudah sore. Sayapamit dulu, ya?" Retno bangkit.Ale melihat jam di dinding ruangan itu. "Oke, deh," balasnya."Nonton dan ke toko bukunya nanti saja ya, Le. Kamu nggak marah, kan?"
"Dengan datangnya kamu kemari, itu pun kamu sudah membayar janji kamu, No. Saya bahagia,karena kamu begitu memperhatikan saya."
Retno tersenyum mendengar kata-kata Ale. Senyum yang menutupi sesak dadanya. Karena ia kekosnya Ale juga hanya untuk menutupi kebohongan janjinya kepada Ale.
"Retno-nya pergi, Le!" Kata-kata Ratih berkelebat lagi, waktu Ale main ke rumahnya, tadi.Ale sempat tidak percaya. Karena setiap ia ingin bertemu dengan Retno, dibilangnya selalu takada, pergi. Apakah kebetulan, setiap kali Ale ingin bertemu dengan gadisnya itu, ditanya selalupergi?"Suer, saya nggak bohong. Cuma saya nggak tahu, ditanya pergi ke mana," Ratih menyakinkan,waktu melihat wajah Ale yang tak percaya."Serius, Tih?" Ale tersenyum kecut.Tak menjawab, tapi Ratih mengangguk, pasti.Ada kecewa, dan tak mengerti, Ale pulang kembali."Le...," suara Ratih menghentikan langkah Ale.Ale menoleh.
"Saya lihat, akhir-akhir ini kamu jarang bersama Retno. Kenapa? Marahan, ya?"Ale tersenyum. "Nggak, Tih. Kebetulan saja, saya banyak kegiatan. Retno juga."Ratih cuma turut tersenyum, dan kembali memandang Ale yang pergi bersama motor trailnya.
Saya rindu kamu, No. Saya kangen kamu. Adakah di hati kamu merasakan perasaan yang samadengan saya? Ale memarkir sepeda motornya di samping swalayan.Hari Minggu yang cerah itu toko buku Gramedia Blok M begitu ramai. Ale naik eskalator ke
lantai dua. Ia memang ingin mencari buku Pengantar Ilmu Komunikasi.Ale menuju rak majalah dan koran. Melihat beberapa majalah remaja. Setelah itu, ia mencaribuku yang dicarinya. Tapi tiba-tiba, mata Ale milhat sosok gadis di rak buku, novel-novelremaja. Ada senyum, begitu Ale mengetahui siapa gadis itu. Ia lalu melangkah mendekati gadis
itu."Retno," sapa Ale.Gadis yang disapa menoleh. "Eh, A-Ale...!"Retno tampaknya gugup begitu mengetahui yang menyapanya ternyata Ale."Saya tadi dari rumah mencari kamu. Kata Ratih, kamu pergi. Ya, sudah. Akhirnya sayakembali. Eh, nggak tahunya bakal ketemu di sini." Ale tersenyum.Retno semakin gugup, dan agak kikuk.
Ale merasakan itu. "Kenapa, No?" tanyanya, heran.Retno berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia gelisah karena di sampingnya ada Roni."Eh, i-ini. Kenalkan, teman sekolah saya." Retno memaksakan senyumnya.Roni mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya.Ale membalasnya."Kita, pulang, No," ajak Roni. Ada sorot mata tak suka di matanya kepada Ale.Retno semakin bingung saja mendengar ajakan Roni.Ale terpaku. Pikirannya langsung sadar dengan kegugupan Retno, sorot mata tak sukanya Roni.Inikah sebabnya kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dari saya, No? Cowok inikahyang membuat kamu selalu mendustai saya?"Le...." Retno menjadi sangat serba salah."Pulanglah, No. Kamu pergi sama dia, pulangnya pun harus sama dia." Ale berusaha mengertisambil memaksakan senyumnya. Meskipun hatinya saat itu terluka.Dengan rasa tak enak hati, Retno berjalan mengekor langkah Roni. Matanya tak sanggup lagimenatap atau menoleh ke arah Ale.
Pulang sekolah, Retno tampaknya kusut sekali."Ada apa, No?" tanya Mama.Retno memaksakan senyum. "Pusing, Ma. Habis ulangan," urainya sambil masuk kamar.Di dalam, Retno merebahkan tubuhnya. Kekesalannya yang dibawa dari sekolahlangsung
ditumpahkannya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dadanya jadi sesak.Kamu hancurkan harapan dan hidup saya, Roni! Retno menangis. Ia kesal dengan Roni.Di sekolah tadi, waktu Retno ingin ke kantin, ia melihat Roni sedang bersama Elisa, bidadarikelas dua, adik kelasnya. Roni terlihat begitu akrab dan mesra dengan Elisa. Retno dibakarcemburu melihat itu semua. Tapi Roni tampaknya malah sengaja. Dia mencubit manja dantertawa bersama Elisa sambil bercanda. Pulang sekolah, Retno mempertanyakan tentang itusemua.
"Saya nggak menyukai kamu, No. Kamu membohongi saya. Waktu kamu saya dekati, katanyakamu mengaku belum punya pacar. Seminggu yang lalu, waktu kita ke toko buku, kita bertemudengan seseorang yang tampaknya begitu akrab dengan kamu. Saya tahu, itu pacar kamu.Teganya kamu mendustai dia. Saya berpikir, bahwa kamu nggak pantas jadi pacar saya, karenakamu amat pandai berdusta tentang cinta. Asal kamu tahu saja, No. Saya tak mau mengobralcinta saya. Saya merasa bersalah sekali dengan pacar kamu yang bertemu di toko buku itu,karena seakan merebut kamu dari sisinya. Sekarang, lupakanlah tentang kita," kata-kata Roniyang panjang itu amat menyayat di hati Retno. Sampai sekarang pun masih tersisa.
Retno bangkit dari tidurnya. Memandang sebingkai foto yang ada di atas meja belajarnya. Fotoberukuran kartu pos itu adalah foto Ale sewaktu di Rinjani. Retno mengusap permukaan foto itu.
Maafkan saya, Le. Saya baru tahu, bahwa kamu begitu berarti dalam hidup saya. Saya ngakusalah. Sekarang, saya amat merindukan kamu. Maafkan saya, Le. Retno mengusap butiranbening di wajahnya.
"Retno...! No! Ada Ale," panggilan Mama mengagetkan Retno.Ale? Dada Retno berdegup kencang. Oh, kamu selalu datang saat saya rindu dan membutuhkankamu, Le. Retno cepat-cepat membersihkan airmatanya. Ia keluar.Di ruang tamu, Retno mendapati Ale tersenyum ke arahnya."Apa kabar, No?" sapa Ale.Retno tersipu. Lalu memandang Ale dengan kerut di dahi. Pakaian yang Ale kenakan tidakseperti biasanya. "Mau ke mana kamu, Le?" tanyanya dengan gelora di dada.Ale kembali tersenyum. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau saya naik gunung lagi, kamuakan ikut? Tadi pagi anak-anak pencinta alam di kampus saya ngajakin naik Gunung Salak di
Bogor. Kamu mau ikut, No? Sekarang hari Sabtu. Naik Gunung Salak paling cuma satu hari.Hari Minggu sore kita sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita ke perkampungan setempat dulu,karena anak-anak ada rencana bakti sosial di sana. Kalau kamu mau ikut, bawalah beberapapotong pakaian kamu yang agak lama, kemungkinan bisa dibagi-bagikan di sana. Pakaian kamuitu bisa berguna," jelas Ale.
Retno tersenyum lebar. Kegembiraan di wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Saya akan ikut,Le. Saya akan minta izin sama Mama. Mama pasti mengizinkan, karena ini juga masalah baktisosial. Sebentar ya, Le. Saya salin dulu," kata Retno bersemangat.
Ale memandang Retno yang masuk ke kamar dengan sejuta kebahagiaan, karena ia melihatRetno begitu ceria, tidak seperti sebulan yang lalu, yang kalau bertemu Ale tampaknya kikuk dandiam selalu. Apakah keceriaan kamu adalah kembalinya kamu untuk saya, No? Ale bertanyadalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, setelah Retno salin, mengepak ransel dan pamit kepada Mama, merekapergi dengan motor trail Ale."Kita taruh motor dulu, No. Teman-teman menunggu di kampus." Ale melajukan sepedamotornya.
"Naik kereta, dong?" Retno mengencangkan pegangannya di perut Ale.
"He-eh." Ale mengangguk, lalu tersenyum.Motor terus melaju.
"Le, maafkan saya, ya? Saya telah...."
"Sudahlah," potong Ale. "Dengan maunya kamu ikut saya pun suatu bukti, bahwa kamu memangtetap milik saya. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, No. Saya telah memaafkan kekhilafankamu. Asal jangan berbuat salah kedua kalinya saja. Karena kamu pun tahu, saya amat mencintaikamu," kata Ale.Retno menggigit bibirnya. Ale begitu bijaksana, pikirnya. Ia amat menyesal, kenapasempatmembagi cintanya kepada cowok lain. Apa yang kurang pada Ale? Mandiri, berprestasi,
sederhana, dan... ah, semua yang ada pada diri Ale adalah tipe cowok yang Retnosuka,meskipun Ale tidak begitu tampan. Toh ketampanan belum tentu menjanjikankebahagiaan.Sebab yang Retno tahu lewat baca kebahagiaan itu ada karenadiciptakan. Dan Retno inginmenciptakan segala kebahagiaannya bersama Ale mulai detik ini.
kereeeeeeen,, yhq
BalasHapusInspired kak,,, makacie.. =D sering2 yoa.
BalasHapuskeren,,
BalasHapusgmna caranya biar cerpennya gak di copas??? aku juga pengen nulis cerpenku di blog..