Tante Davina

1
"Jamu pelangsing dan penghilang kerutan?" tanyaku seperti orang bego ketika adik ibuku yang datang berkunjung ke runah kembali bercerita tentang upayanya mempercantik diri.

"Iya, katanya terbuat dari tanaman khusus dan langka. Cuma dia ngerahasiain nama tanamannya," lanjut tanteku dengan semangat.

"Duh, jadi penasaran. Katanya sih mau dibawain contohnya hari ini. Shenastya nemenin Tante nanti ya?"

"Ehm, Shenastya nanti…" Aku baru saja berujar pelan ketika wanita paruh baya di hadapanku menyela.

"Sebentar kok. Pleaseee."

Tiba-tiba handphone miliknya berdering. Sambil memberi isyarat agar aku menanti, dia mengangkatnya.

"Halo. Oh, Varella. Apa? Masker penghilang kerutan dalam satu malam?" teriaknya sambil membelalakkan mata.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tante Davira adalah anak terakhir dari tiga bersaudara di keluarga kakek dan nenek. Paman Gruman, si tengah, memilih untuk menetap di Jepang, menjadi programmer di perusahaan game yang cukup terkenal. Sementara ibuku memilih bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit swasta. Tante Davira sepertinya cukup puas menjadi ibu rumah tangga.

Sebenarnya, tante Davira adalah wanita yang cantik. Usia 48 tahun yang disandangnya tak tampak. Hanya terlihat sebagai wanita berusia 40-an dengan tipikal ibu rumah tangga. Suka gosip, shopping, dan sebagainya. Rumah tangga harmonis. Seharusnya, tidak ada yang kurang dalam kehidupan beliau.

Namun, entah kenapa dalam setahun belakangan, sejak dia pindah rumah ke salah satu kawasan cukup elit di Jakarta, tiba-tiba dia berubah. Jadi lebih genit. Oke, itu memang penilaianku. Tapi, sebagai satu-satunya keponakan yang paling sering didaulat sebagai pendengar setianya, bagaimana tidak? Hampir setiap minggu yang diobrolkannya hanya salon baru, cara menghilangkan kerutan, melangsingkan tubuh, dan hal semacam itu. Padahal, seperti yang kukatakan tadi, beliau sudah cantik!

"Jadi Shenastya? Entar temenin Tante ya?" Ucapan yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

Aku kembali menatap wanita dengan rambut bergelombang di hadapanku. Heran, apa yang kurang dari penampilannya sampai dia harus kebingungan seperti ini?

"Ke mana sih Tante?" tanyaku akhirnya.

"Deket kok! Ke salon deket rumah Tante. Jam lima nanti sore ya!"

Aku mengangguk pelan. Yah, setidaknya pembicaraan ini dapat berakhir.

"Eh, tahu nggak Shenastya. Tadi temen Tante yang telepon dapat barang bagus. Masker penghilang kerutan! Masa…"

Aku melotot secara tidak sadar. Ya ampuuuun!!!
***
Sudah dua minggu sejak aku menemani tante Davira ke salon Kawaii (nama salonnya aneh pula!). Karena kegiatan di kampus meningkat, aku sengaja mengurangi intensitasku bertemu dengan beliau.

Dengan menyibukkan diri, setidaknya aku terhindar dari rasa pusing bila harus mendengar ocehan dan paksaan tante Davira. Yang sedikit aneh, tante Davira juga Cuma mengiyakaj ketika aku tidak dapat menemaninya mengobrol (biasanya maksa!). Rahasia itu baru terkuak ketika ibu pulang dari kantor suatu hari.

"Shenastya, tantemu itu kok tambah nganeh-anehi," ujar ibuku.

"Nganeh-anehi gimana?" tanyaku heran.

"Tadi ibu mampir ke rumahnya, sekalian mengantar obat untuk Girindra (sepupuku yang berusia 5 tahun). Tahu nggak, sekarang, gara-gara anjuran temannya, dia puasa bicara. Katanya biar otot wajah jadi lebih rileks."

"Hah?’ tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Nggak cuma itu. Sekarang, dia cuma mau makan buah, jarang makan nasi. Setiap dua hari sekali minum susu kedelai yang dicampur telur. Yang lebih gila, dia sekarang mau minum kopi wayu tiap hari."

"Wayu?"

"Artinya basi. Kopi yang dibiarin semalam diminum besoknya. Langsung aja tadi ibu larang. Orang kok nggak sayang sama tubuhnya."

Aku cuma bisa melotot sambil menggeleng pelan. Wah, tante Davira sudah keterlaluan.

Ibuku menghela nafas. "Payah Davira itu. Sudah tahu punya maag, sekarang jarang makan, mau minum minuman rusak pula. Apa sih maunya? Mana si Mahendra (suami tante Davira) nggak balik-balik dari Malaysia."

"Tenang saja. Yang penting kan tante Davira bukannya nggak makan sama sekali. Gimana kalau ibu beri vitamin saja?"

Ibuku mengangguk pelan. "Yah, mungkin itu jalan yang terbaik."
***
Kabar mengejutkan kuterima beberapa hari kemudian. Tante Davira masuk rumah sakit! Nggak parah sih, cuma karena masalah pencernaan. Rupanya tante Davira tidak mengindahkan ucapan ibu untuk tidak meminum kopi basi itu. Selama tiga hari, tante Davira meminum kopi basi itu, tidak tanggung-tanggung, tiga gelas sehari!

Wanita itu sedang asyik membaca ketika aku datang menjenguknya. "Gimana kabar Tante?"

"Sudah mendingan. Tadi ibumu marah-marah ke aku selama setengah jam," ujarnya.

"Ibu kuatir. Mestinya Tante nggak usah terlalu berlebihan menanggapi usulan teman-teman Tante. Nggak perlu minum kopi basi pun Tante sudah cantik kok. Ngapain menyusahkan diri sendiri sih? Kasihan Girindra dong kalau mamanya sakit terus."

Tante Davira terdiam sejenak mendengar ucapan panjang lebarku. Ditatapnya aku dalam-dalam.

"Iya ya. Sepertinya selama ini Tante terlalu over. Iya deh. Mulai sekarang, Tante akan mengurangi intensitas ngurusin tetek bengek wajah dan sebagainya."

Kami tertawa bersama dan untuk sesaat muncul rasa lega di hatiku. Karena ada tugas menumpuk, maka aku buru-buru pamit untuk pulang ke rumah. Masih dengan rasa lega dan gembira, aku mengambil tasku dan beranjak keluar.

Baru saja aku menutup pintu, kulihat bi Minah, pembantu tante Davira datang membawa sebuah mangkuk. Sedikit heran, aku menyapanya.

"Ada apa Bi? Bawain makanan ya?"

"Nggak Neng. Ini, disuruh bawa minyak jelantah sama nyonya."

"Minyak jelantah?"

"Iya. Katanya buat dioles-olesin ke muka. Makanya, Bibi bawain minyak yang abis dipakai menggoreng ikan teri."

Aku tak bisa berkata apa-apa sekarang. Tante Davira!!!

Posting Komentar

1Komentar
Posting Komentar