Sabtu, Januari 01, 2011
0
Part - 3
SATU-SATUNYA ORANG yang akan ditemuinya pada saat itu adalah keponakannya. Mutalib, yang bekerja sebagai buruh perusahaan aki dan besi di Kebon Sawo. Nyala api gas yang mementalkan bunga-bunga api menyilaukan pandangannya untuk mendapatkan wajah Mutalib di antara buruh-buruh yang bekerja memakai masker dan muka yang bercelomok dengan arang dan minyak itu.
Tetapi Mutalib yang lebih dahulu melihatnya! Anak muda itu dengan wajah terkejut tetapi kemudian gembira, segera melemparkan martil yang sedang diketokkannya, lalu berlari mendapatkan pamannya. Ia membuka masker penutup hidung.
Tetapi ia tertegun berdiri, melihat sikap pamannya yang kelihatan pada matanya itu. Ketika dilihatnya bibir pamannya seperti akan mengucapkan sesuatu, cepat-cepat Mutalib membersihkan tangannya dan kemudian memberikan salam erat dengan jabat tangan seorang penempa besi.
"Aku membikin perusahaanku lebih luas. Bukan aki saja sekarang. Aku juga membikin ranjang," kata Mutalib.
"Tempat tidur?" tanya Wahab.
"Ya, tempat tidur."
"Kalau begitu tempat tidur yang di hotel tempatku menginap semalam kau yang membikinnya," kata Wahab mencoba mencerahkan suasana.
"Ya, si Ali Hilabi yang memesannya! Betul?"
Wahab tertegun pada huruf-huruf yang tertera digantung di atas garasi oto yang kini telah dibikin menjadi sebuah perusahaan, di mana nama perusahaan keponakannya tertera di situ. Kemudian mata Wahab diarahkan kepada keponakannya dengan sinar kagum, sambil, bertanya seolah tak percaya.
"Kau yang punya sekarang?"
"Ya! Aku telah mengopernya dari Pak Rajab."
"Di mana Pak Rajab?" tanya Wahab.
Mutalib mengangkat bahunya lama-lama sambil berkata,
"Itulah akhirnya. Perusahaannya baru baik, dia bersemangat sehingga dia memborong kerja, sampai mencas segala! Itulah akhirnya, batuk darah, dan aku mengambil oper atas kemauannya sendiri."
Wahab yang semula datang dengan kebekuan hati kini segalanya meleleh menjadi cair, sambil kembali lagi membaca papan nama perusahaan keponakannya.
"Asal jangan kau ulangi lagi nasib Pak Rajab." kata Wahab kemudian. Keponakannya ketawa sambil melihat buruhnya tetap asyik bekerja. Dan sambil mempermainkan telunjuknya ke arah pekerja-pekerja itu, Mutalib berkata, "Aku menjaga kesehatan mereka. Susu, pemeriksaan dokter, semua cukup."
Wahab jadi terharu, dan ketika Mutalib mempersilahkan pamannya untuk masuk menengok, Wahab menolak.
"Aku malu sekarang dengan ejekan kepadamu dulu! Temui aku jam 10 malam di hotel Ali Hilabi," katanya kemudian,
Mutalib mengangguk, tetapi anggukan yang banyak itu jadi terhenti melihat wajah pamannya yang tiba-tiba berobah, apalagi ketika pamannya berkata, "Kau menduga aku mati di rantau?"
Mutalib menggelengkan kepala.
"Siapa yang menjual rumah di Gudang Lelang?"
Mutalib agak gugup sebentar, lalu berkata pelahan. "Ibu Rom. Aku tak ikut serta dalam soal itu."
"Tetapi aku kenal betul dengan tulisanmu, Talib. Tidakkah tulisanmu RUMAH INI AKAN DIJUAL adalah tulisanmu?"
"Ya."
"Berapa penawarannya?" tanya Wahab.
Mutalib menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu tentang itu," katanya kemudian. Dan kemudian, ketegangan itu lenyap ketika Wahab berkata tidak kasar, "Kalau begitu nanti jelaskan di hotel."
"Akan saya jelaskan," kata Mutalib.
Wahab cepat membalik, dan Mutalib masih terpaku. Tetapi kemudian berlari-lari sambil memanggil-manggil pamannya, dan Mutalib berkata sambil menghapus-hapus daki minyak di tangannya, "Tetapi perlu saya jelaskan lagi, bukan saya yang mengusulkan menjual rumah itu."
Wahab cuma melirik sedikit melihat hidung Mutalib yang hitam kena arang.
"Hidungmu hitam. Temui aku di hotel jam sepuluh malam nanti."
"Paman sekarang mau ke mana?" tanya Mutalib terburu-buru.
"Ke hotel. Tidur," dan Wahab berjalan lurus sambil menyetop oplet dan meloncat naik ke kendaraan itu.
Mutalib masih diam berdiri seperti patung, kemudian kembali ke pekerjaannya. Ia kembali mengambil aki yang lagi dicasnya.
Tiba-tiba Mutalib menghentikan pekerjaannya. Ia melihat kepada seorang pekerjanya, sambil berkata agak gugup, "Katakan pada istri saya, saya makan siang di Pringsewu."
Pekerja yang diberitahu itu mengangguk, tetapi kemudian bertanya, "Nanti ditanya pulangnya jam berapa?"
"Katakan aku hanya sebentar pergi."
Mutalib kelihatan tak henti-henlinya memasang rokok dan memasang lagi dan mematikannya sepanjang perjalanan itu. Bila kemudian ia memberitahukan kepada kondektur bis, sekejap saja ia telah meloncat ke jalan raya di Pringombo, setengah kilometer sebelum mencapai Pringsewu.
Ia terhenti berlari di sebuah langgar, kemudian membelok ke kanan, karena ia kenal betul lekuk liku desa ini. Kemudian ditembusnya hutan bambu yang indah itu dengan perasaan kocar-kacir.
Baca selanjutnya, klik disini.
