Sabtu, Januari 01, 2011
0
Episode 4
Di belakang, sawah yang berjenjang-jenjang kelihatan barusan digarap. Beberapa pcrempuan petani sedang mengumpulkan jerami, dan beberapa perempuan yang lain sedang memacut dan yang lain lagi sedang menghembus-hembus api dalam sebuah timbunan sarap.
Perempuan itulah yang akan ditemuinya. Ketika Mutalib masih berjalan meniti pematang yang agak curam dijenjangan sawah, perempuan itu dengan mata yang merah menyambutnya dengan gembira.
"He, tamu jauh. Ngimpi apa datang ke sini!"
Mutalib berbisik, "Bu Romlah, paman Wahab telah kembali."
Sebuah ranting kayu yang masih dipegang di genggaman perempuan itu, tiba-tiba dilepaskannya dan terjatuh di antara tumpukan api yang menyala pelahan, demi didengarnya suaminya masih hidup.
***
Di tingkat atas hotel, seorang lelaki gemuk dengan dada terbuka sedang menghadapi kartu-kartu yang dibanting-bantingnya di meja, tiba-tiba menoleh, dan matanya menangkap paras Wahab yang lesu.
"He, saudara belum berangkat!" katanya.
"Selamat malam, Kapten Berek Kandilla!" seru Wahab dengan kegembiraan yang dibikin-bikin.
"Tunggu!" kata kapten kapal itu sambil mengumpulkan kartu-kartunya di meja dan mengocoknya.
"Saya mau meramalkan nasib saudara. Saya barusan meramalkan, tadi, bahwa kapal saya akan rusak banyak."
Wahab sudah duduk saja di samping kursi kapten kapal itu sambil memadamkan puntung rokoknya pada asbak ketika kapten itu sedang membagi-bagikan kartu di meja. Kartu itu tersusun dalam tujuh baris, dan kapten itu membuka kartu yang ke tujuh. Sambil berkata dengan agak lucu.
"Perempuan yang saudara pikirkan," kata kapten itu sambil menunjuk pada kartu yang bertanda Queen dengan tanda hati.
"Perempuan selamanya membikin kacau dunia, Bung," kata kapten itu lagi sambil membuka kartu keenam di deretan kedua dengan tanda angka 2 jantung hitam.
"Tak usah teruskan," cegah Wahab, Kapten itu ketawa terbahak-bahak mendengar cegahan itu, dan sambil ketawa-ketawa itu dihirupnya bier. "Hoho kenapa takut pada karlu-kartu ini?
Bukankah ini kertas, cuma bikin main-main isi waktu lowong."
"Tuan Berek Kandilla," kata Wahab kemudian.
"Ya? Ada apa?" jawab Berek Kandilla sambil tetap mengatur kartu-kartu yang dibukanya.
"Tuan kelihatan gembira sekali," kata Wahab.
"Memang! Hidup ini bukan unluk susah-susah tetapi untuk isi waktu dengan senang-senang, kalau saudara tidak percaya, tanyakan pada kelasi-kelasi saya apa saya pernah ngelamun, hoho, tidak! Saya tidak pernah ngelamun!"
"Waktu Tuan Berek mau tidur, apakah Tuan tidak ngelamun?"
Kapten kapal itu ketawa sebentar, lalu berkata, "Saya hampir lak pernah tidur kecuali kalau di darat. Karena saya tahu, kapal saya bocor sedikit. Karena itu saya tak pernah ngelamun!"
"Tetapi tuan kelihatannya suka membicarakan perempuan. Mari kita bicarakan tentang perempuan sampai jam sepuluh malam ini," Wahab menantang.
"Masih tanggung, Bung. Saya bisa bicara tentang perempuan sampai jam sepuluh besok pagi asal mau dengar. Perempuan macam mana saja, bangsa apa saja, keturunan apa saja! Membikin omong tentang perempuan sebetulnya sama saja kita memutar plat gramopun musik. Cha-cha-cha! Tiga kali, masih enak, enam kali, masih enak, dua belas kali ... hoho, jangan kira saya akan bilang enak, saya bisa bicara sampai jam sepuluh, saudara musti menebaknya, coba apa?"
Wahab terdiam.
"Hoho, teka-teki gampang sekali: Kita bicara sama perempuan, tentang perempuan sampai jam sepuluh pagi. Sama lelaki? Ferreik! Saya tidak mau bicara tentang perempuan sama lelaki, karena itu akan membocorkan resep patent rahasia yang tidak bisa dijualbelikan sama siapa saja."
Wahab melihat mata kapten itu agak kuyu dan merah, dan bau yang memusingkan kepala terpancar dari mulutnya.
"Tuan mabok," kata Wahab.
"Bukan, bukan! Saya tidak mabok sama sekali," kata kapten kapal itu tetapi dalam setengah detik saja, kepalanya yang besar itu terhempas di atas mcja dengan bunyi yang segar, dan matanya tertutup dengan nikmatnya.
Wahab memanggil pelayan hotel agar menyeret kapten itu dengan segera, tetapi pelayan hotel berkata, orang itu hanya akan begitu sebentar saja.
"Dua jam lagi dia akan bangun," kata pelayan hotel itu kemudian.
Wahab mengambil sebuah kursi, dan diseretnya ke pagar terras menghadap ke kota di bawah sana yang telah sunyi dari kesibukan suara.
Rasa sepi merangkak di dada Wahab ketika itu, sepi yang dahsyat dan kejam dan menakutkannya. Ia tidak tahan lama duduk, apalagi mendengar bunyi dengkur kapten kapal yang menghantu itu, lalu ia turuni tangga dan berjalan menyusuri jalan-jalan kota Teluk betung.
Ia memasuki sebuah restoran dan ia tertarik pada tukang sate yang asyik menyusun sate-satenya pada tempat panggangan.
"Sate!" katanya kemudian.
Lalu ia mengangkat gelas untuk meminum air jeruk dingin, tetapi tiba-tiba matanya tertegun pada sebuah wajah yang hanya dua meja jaraknya dan mejanya. Wajah itu adalah wajah seorang perempuan yang rasa-rasanya — rasa-rasanya — pernah ia kenal dahulu. Ia tidak lupa pada rambut wanita itu, ia tak lupa pada tahi lalat wanita itu yang tepat-tepat terletak di antara kedua alismatanya. Ia akan berseru memanggil, tetapi lidahnya terasa kelu, dan cepat-cepat direguknya air jeruk dingin dan suaranya tetap tiada.
Radio ketika itu sedang dengan dahsyatnya melagukan lagu "Irian", tetapi dalam telinga Wahab lagu itu tiba-tiba bercampur baur dengan lagu "Barisan Banteng".
Mata Wahab dengan erat tetap menatapi wajah wanita itu, ketika suara lagu "Irian" bercampur mengaduk dengan lagu yang melontarkan semangat yang sama:
Barisan Banteng, barisanku
semangatku gembira...
Menyala bagai api...
dan keras seperti besi...
