KENANGAN PADA PEPERANGAN selamanya mengingatkan pada satu semangat dan satu tujuan. Setiap lagu di masa revolusi tempur melawan Belanda dahulu menggambarkan semuanya itu.
Lagu itu bergema di mana saja di pelosok tanah air, juga di kota ini, di mana Wahab dilahirkan.
Kota Teluk betung membujur ke arah barat laut mulai dari Bumi waras sampai ke arah utaranya, di mana ada jalan aspal mendaki kampung Sumur Batu. Kota ini adalah kota kecil, tetapi tidak akan dilupakan dalam peta kepulauan Indonesia.
Sekalipun kota itu kota kecil dan di tengah pusar-pusarnya berdiri rumah-rumah lama dan kebanyakan adalah peninggalan peradaban perantau-perantau Tionghoa dan Arab, namun, seperti di mana-mana, kehidupan membersit dengan deras. Ia bukan saja rantau bagi orang-orang daerah sekelilingnya, tetapi juga rantau jauh bagi berbagai bangsa yang sudah merasa tanah yang didiaminya sebagai tanah airnya sendiri. Mereka datang dari Tiongkok, Pakistan, India dan Arab Habsyi untuk mencari nilai-nilai kehidupan,
Dalam sejarahnya, kota itu hanya sekali mengalami peperangan kolonial, yaitu ketika Belanda dalam agressi kedua mendudukinya. Tetapi dalam agressi pertama, kota itu ikut gelisah sebagai front belakang dari pertempuran yang sedang hebatnya mengamuk di garis depan maut front Baturaja yang kami kenal.
Tetapi dalam keluarga Wahab kelihatan tidak terjadi apa-apa.
Sejak orang pertamakali berteriak Belanda akan datang menyerang, keluarga ayah Wahab itu, yang banyak dikenal sebagai Tuan Martunus, anemer yang kaya menyendiri menyambut peperangan dengan sikap sinis. Sejak lama Wahab merasa, bahwa ikatan dalam keluarga demikian hebatnya seperti penjara. Ia ingin berontak menjauhi mereka. Ia sudah bosan dalam penjara kemewahan di antara kecemasan hati keluarga-keluarga lain yang melepaskan anak-anaknya ke front maut. Ketika orang lain mendengarkan pidato pemimpin di radio membakari semangat para pemuda untuk berkorban membela tanah air, baik harta benda atau nyawa dan airmata, keluarga Martunus menyetel lagu-lagu yang menyejukkan hati seorang tua pensiunan.
Merdeka atau Mati!
Tiga kata itu meluap-luap di dalam dada bunda dan bapa, membius ke jantung putra-putranya untuk mempertahankan sekalipun sejengkal tanah dari penjajah-penjajah. Kata-kata itu juga sebenarnya berkobar di dada Wahab sebagai anak muda yang belum lagi lewat tiga puluh satu tahun. Ia masih merasa malu jika berjalan di jalanan Kupangkota — kampung di mana ia tinggal di mana ia dilahirkan — ketika itu orang-orang tua bertanya, "Tidak ikut giliran bertempur ke Baturaja?"
Ia cuma bisa menekurkan kepala untuk menyembunyikan mukanya yang tak kuasa melihat mata orang lain, mata dunia luar, mata setiap orang.
Pagi itu Wahab pergi menganjang ke rumah gadisnya di Kebon Kelapa, kali ini benar-benar tutup kuping terhadap ejekan dan sindiran siapapun di jalan raya.
Rumah Sumiwi terletak di dekat timbunan pohon-pohon sawo yang sedang berbuah lebat ketika itu. Ketika ia membuka pagar rumah gadis itu, Sumiwi telah berdiri di pintu beranda dan menyambutnya dengan lambaian tangan.
"Mukamu tegang sekali, Kak Wahab," kata Sumiwi sambil menarik korsi untuk duduk. Wahab duduk.
"Ibumu masih sakit?" tanya Sumiwi.
"Beliau tidak sakit! Orang tua manja! Aku mau memilih hidupku sendiri sekarang, ke luar dari penjara setan selama 31tahun ini," diangkatnya kepalanya untuk menyaksikan apakah Sumiwi mendengarkan kata-katanya ataukah tidak. Tapi gadis itu menunduk. Rambutnya terurai berombak ditiup angin pagi yang masih basah oleh uap udara bumi. Gadis itu sebenarnya ingin didampingi oleh seorang lelaki, sebenarnya agak terlambat juga, tetapi lelaki yang ingin mendampinginya seharusnya seorang lelaki yang sanggup meremasnya seperti orang meremas tape, dan bukan anak manja semacam Wahab, lunak, lebih lunak dari tape.
"Apa rencanamu?"
Wahab mengangkat kepalanya dengan sebuah tarikan yang agak keras. Dia pandangi Sumiwi seperti seorang peminat ikan memandangi akuarium, manja sekali pandangan itu, sambil berkata keras, "Aku ingin masuk tentara," katanya.
"Ha?"
Loncatan kata Sumiwi itu seakan meninju jantungnya ketika itu, tapi tidak apa, ia cuma mengangguk.
Sekali lagi, perempuan ini kepingin didekap dengan keras seperti akan penyek, tetapi setiap Wahab dalang selalu menceritakan kesusahan belaka. Perempuan akan mual melihat lelaki yang menempatkan dirinya sebagai pispot air mata! Sumiwi berbuat sesuatu yang membosankan pula agar Wahab segera pulang dengan jalan menjenguk-jengukkan kepala seolah menunggu seorang datang.
"Siapa yang kau tunggu, Sum?"
Ia tersenyum. Senyum itu telah dibikin sedemikian rupa oleh Sumiwi sehingga menjadikan teka-teki bagi Wahab, menyebabkan Wahab terduduk seperti orang kekenyangan — memang, ia kekenyangan oleh rasa dongkol yang diciptakan sanubarinya sendiri —lalu, sctengah jam kemudian ia permisi pulang.
Menjelang sore ia tidak pulang, berjalan menurut apa yang diingini oleh kakinya, makan di mana ia sukai karena memang ia jarang masuk restoran akibat disiplin keluarga, dan akhirnya, pulang ke rumah ayahnya, tuan Martunus bekas anemer.
Rumah Tuan Martunus termasuk rumah yang megah di Kupang kota, hasil dari bakatnya sebagai anemer di zaman penjajahan.
Kalau sore, Tuan Martunus duduk dengan memakai singlet mengipas-ngipas dadanya yang penuh bulu itu, dan tubuhnya yang seperti kerbau bulai itu terjelapak di atas kursi malas yang paspasan untuk badannya yang bulat itu.
Kopi segelas di meja.
Dan Wahab datang dengan kepala menunduk.
"He, ke mana kau seharian ini? Sakit?"
"Tidak," jawab pendek dengan langkah penguasa rumah memasuki beranda, terus langkah tegap memasuki kamarnya, mengemasi kopornya dengan gemas, lalu ke luar lagi, mendapatkan ayahnya.