Dosa Kita Semua - Part VI

0
Part - 6

Mukanya merah seketika. Di antara yang merah itu ada yang biru. Dan yang biru itu adalah bekas pukulan seseorang yang merasa diinjak dengan sengaja di restoran. Itulah untuk pertamakali ia berkelahi. Ketika ia merasakan betapa sakitnya dipukul, tiba-tiba ia merasa perlu untuk melawan, sekalipun perlawanan yang diberikannya siang tadi itu malah menambah ia lebih benjol lagi. Beberapa orang melerai perkelahian yang tak seimbang itu, karena mereka tahu perkelahian itu lebih banyak menyakiti Wahab. Itulah untuk pertamakali ia benar-benar merasa disakiti dan benar-benar perlu melawan atas kesakitan yang diakibatkan serangan.
Mata Wahab liar memandangi mata ayahnya.
"Papa," katanya pendek.
"Kamu nganjang seharian!"
"Ya!"
"Ya pula jawabmu. Kau lebih baik jadi tukang catutlah jadi apa sajalah, daripada kau mengisi kekosongan pergi ke perempuan dalam perlop kantormu ini."
"Itu kan tanda orang sehat," kata Wahab.
"Dari mana kau belajar?"
"Lelaki sehat selamanya mencari perempuan," jawab Wahab lebih berani, karena ia telah tidak punya pilihan lain selain dari melawan sekarang. Sekarang! Ya! Sekarang! Sekarang ia mau melawan siapa saja! Sekarang!
"Dari mana kau belajar ilmu kesehatan di mana laki-laki cari perempuan sejak pagi sampai sore?"
Wahab angkat kepala. Dadanya merasa ditikam. Ia sudah lama diperlakukan seperti anak limabelas tahun, dan dijawabnya dengan lunas.
"Papa sendiri begitu!"
"Di mana kau lihat?"
Wahab mulanya ragu-ragu. Perlahan dijawabnya, "Di Bumi waras!"
Tuan Martunus, anemer pensiunan, melihat kiri kanan seperti takut kepergok, lalu bangkit dari sandarannya, tetapi kembali rebah ke sandaran karena tubuhnya yang tak seimbang. Dalam keadaan yang demikian ia lebih menyerupai kodok karena kepalanya yang besar itu.
"Kuharap kau jangan ulangi lagi hinaan terhadap papa tadi, Hab," akhirnya Martunus mempersingkat ancaman semula agar menjadi aman.
Wahab memperbaiki duduknya, menggosok-gosokkan telapak tangannya sendiri, akhirnya berkata.
"Papa?"
"Jangan omongi lagi peristiwa Bumiwaras!"
"Ini bukan Bumiwaras. Ini Baturaja," jawab Wahab.
"Ada apa dengan Baturaja?"
"Begini. Tukoasmoro barusan saja pulang dari front,"
Tuan Martunus mencoba bangkit dari sandaran kursi malasnya, kali ini ia selamat. Hampir berteriak.
"Tukoasmoro! Itu untunglah dia pulang dengan selamat!"
Mata Tuan Martunus menjadi merah, tetapi mata merahnya seperti tak mau melihat dua pemuda dengan kacu merah di leher berjalan dengan langkah perwira menuju ke arah Kupang. Ia kini tersenyum mengejek, ketika dilihatnya Wahab juga menoleh ke arah dua pemuda itu.
"Itulah yang akan kubicarakan, Pa."
"Aku tak sudi membicarakan peperangan. Persetan! Gara-gara perang, aku tak bisa bikin rumah lagi, tak ada pesanan sejak zaman perang dengan Jepang!"
Wahab berdiri sekarang. Hatinya mendidih mendengar hinaan itu. Lalu ia berpindah duduk di teras papan senta.
Dengan mendelik, Tuan Martunus mengeluarkan daulatnya,
"Kau jangan pula duduk di situ sekalipun hari ini kau diangkat Jenderal untuk front Baturaja!" Sekalipun lagi-lagi ia harus tunduk pada perintah anemer pcnguasa rumah itu, sekalipun ia turun dari duduknya dan kembali berdiri, ia tetap berkata, sekarang, sekarang juga.
"Papa sudah kenyang hidup mewah di zaman kolonial bukan?"
"Ya!"
"Sekarang papa merasakan kepahitan bukan?"
"Ya! Apa pedulimu?"
"Dan papa ingin zaman dahulu itu kembali lagi, bukan?"
"Jangan kira aku Nica, Jenderal Wahab," kata Tuan Martunus berontak, tetapi Wahab berontak pula untuk pertama kalinya,
"Jangan ejek aku, papa!"
Tuan Martunus merasa kedaulatannya dilangkahi, kali ini dia coba berdiri, walaupun cara dia menaruh tangan di pinggang makin membentuk ia seperti kodok sebenarnya. Untuk sementara Wahab berdiam diri, menunggu apa yang akan dikatakan bapanya, tetapi ia cuma menyaksikan ayahnya itu terduduk berdembin di kursi malasnya.
"Terserah pada kau, Wahab, mau ke Baturaja, mau ke neraka, mau jadi perajurit ataupun mau jadi jenderal! Terserah pada kau, apakah kelak kau menyesal karena pulang dengan cacat. Kau telah dihinggapi penyakit anak-anak muda di zaman republik ini," anemer pensiunan itu duduk baik-baik, kembali menyandarkan diri.
"Papa sebenarnya orang yang tidak mengikuti jalan sejarah. Sejarah sudah berobah. Pa! Manusia-manusianya juga berobah. Kami bukan ikut-ikutan, tapi seperti saya juga, yang lain merasakan pentingnya tanggung jawab setiap orang di zaman perang kemerdekaan ini".
"Di mana kau belajar?" tanya Tuan Martunus.
"Aku malas bertengkar. Barangkali sebentar lagi mama pulang dari berobat pada sinshe, tak baik bertengkar di depan dia. Tetapi yang terang aku akan pergi ke front, dengan keinsyafan dan kesadaran serta tanggung jawab."
"Pergilah! Ke neraka pun kau pergi aku tak melarang. Kalau kami dulu bekerja sejak muda untuk memikirkan bagaimana untuk kesenangan masa tua, kau sekarang mau menghabiskan hari ini untuk jadi abu," jawab anemer pensiunan itu.
"Ya, begitulah. Karena itu antara papa dan saya ada perbedaan," jawab Wahab.
"Tak usah kau katakan pada ibumu. Cukup aku yang mengatakan! Tapi ingat, kau jangan menginjak rumah ini lagi sepulangnya dari front."
"Rumah ini mungkin juga jadi abu jika pertempuran menghebat," kata Wahab. Mendengar kata-kata Wahab, Tuan Martunus melonjak. Ia merasa seperti akan kehilangan milik yang dibangunnya dalam bertahun-tahun sekalipun dengan menundukkan kepala di hadapan wali kehidupannya — tuan-tuan Belanda yang memerintah di masanya.
"Aku pergi sebenarnya untuk ikut menjaga agar rumah papa ini tidak jadi abu. Jika jadi juga, itu karena keadaan."
"Aku akan membelanya, Hab," kata si tua.
Tetapi Wahab ketika itu telah menghindar dari sengketa ketika dilihatnya ibunya memasuki pagar pekarangan rumah.
Seminggu kemudian, dengan kereta api pagi ia menuju ke Kota bumi, dan di sana ia akan dilatih untuk dikirimkan ke front pertempuran sebagai yang diperintahkan oleh komandannya Baturaja, Kertapati, atau di mana saja api peperangan merah menyala.

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)