Sabtu, Januari 01, 2011
0
Part - 7
KENANGAN ITU sedemikian cepatnya seperti orang memanggang sate saja, Wahab ternyata masih duduk di restoran. Sepiring sate lontong telah diantarkan oleh tukang sate di hadapannya, dan waktu itu tidak sadar, bahwa perasaannya telah dihisap oleh kekuatan-kekuatan yang ada dalam ruang restoran itu: Wanita itu, sate, suara orang memecah batu es, bunyi tambur tukang sulap dan radio yang kini bertukar menyanyikan lagu "Daun Gugur" ciptaan Sumi Warkiman.
Tetapi Wahab tidak tahu, bahwa wanita itu sebenarnya tahu.
Wanita itu sengaja memindahkan vas bunga agar menutupi wajahnya, tetapi sebuah biusan perasaan Wahab menghelanya ke sebuah tempat, beberapa kilometer dari restoran itu di jalan mendaki ke Kupang kota, ke sebuah rumah gedung yang telah menjadi reruntuhan abu.
Ketika itu perang telah selesai, dan di mana-mana kelihatan bendera-bendera Merah Putih berkibar dengan kemenangan yang baru didapat dari atas meja diplomasi.
Wahab berdiri terpaku menghadapi reruntuhan rumah ayahnya — rumah keluarga Martunus yang keras, dan dari bingkah-bingkah reruntuhan itu Wahab seolah-olah mendengar beberapa gcma dari suara ayahnya sebelum berangkat ke front terdepan.
Seorang lelaki tua menghampirinya, dan bertanya, "Engkau Wahab?"
Wahab mengangguk.
"Sayang nak," kata lelaki tua itu. Wahab memindahkan pandang kepada orang tua itu. Ia tahu, orang tua itu adalah penjual tuak langganan ayahnya dulu.
"Bapak masih menjual tuak?" tanya Wahab mencoba mengalihkan bicara, karena ia tahu, di atas tumpukan puing itu telah berkubur segala masa lampau.
"Masih, kau mau coba, Nak?"
Mereka memasuki sebuah rumah yang didindingi geribik tetapi beratap genting.
Ketika orang tua itu mengakhiri tegukan tuaknya, ia menoleh kepada istrinya.
"Bukankah demikian Salmah? Tuan Martunus sekeluarga diculik pada suatu malam oleh pemuda-pemuda gerilya, dan kami tidak tahu bagaimana rumah ini jadi abu pada malam itu juga ...."
"Ayahku jadi Nica?" tanya Wahab.
Orang tua yang bercerita tadi itu kelihatan tiada kuasa untuk mengucapkan sepatah kata pun, kecuali kemudian isirinya yang tua juga itu menyambungi kesunyian suasana.
"Ayahmu biasa hidup senang, bukan? Nah, kau tahu sendiri bagaimana segalanya telah terjadi. Tetapi kau jangan susah, kami di sini tetap menganggap kau seorang anak yang berani. Kami banyak mendengar cerita-cerita orang yang pulang di Kupang kota ini dengan keberanianmu itu. Kau jangan cemas kami akan mencampuradukkan soal-soal ayahmu dan engkau, he, mana tanda pangkatmu?"
"Perang sudah selesai," kata Wahab kemudian.
Ia ingat, ketika itu satu-satunya untuk menghiburnya adalah pergi ke Kebon Kelapa untuk menemui Sumiwi. Dan dilupakannya ayahnya, adiknya, ibunya dan semuanya yang ia ketahui dengan pasti telah mati. Dan ia tahu bagaimana para penghianat diakhiri ajalnya.
Diketuknya pintu.
Hatinya berdebar, dan apakah yang akan dikatakannya, dan apakah yang akan dikatakan oleh gadisnya.
Pintu terbuka.
Seorang perempuan tua dengan paras agak kaget, tetapi kemudian ingat kepadanya, berkata dengan ramah.
"Kau pulang akhirnya. Masuklah, Wahab, masuklah,"
Debaran jantungnya seakan berhenti bagai dicairkan oleh segumpal es yang dingin ketika mendengar suara itu.
"Kau tidak begitu kurus, Wahab," kata perempuan tua itu.
Wahab tersenyum, dan matanya liar melihat ke sekeliling. Di dinding kanan ia melihat foto Sumiwi tergantung dengan senyum yang cukup meraih seketika. Perempuan tua itu ikut tersenyum menolong senyum Wahab yang mengembang.
Ketika matanya diarahkannya ke sebuah potret di dinding —ah, seharusnya potret itu yang terlebih dahulu dilihatnya — ia melihat sepasang manusia sedang duduk di pelaminan pengantin.
Perempuan tua itu kali ini tersenyum juga, tetapi senyum itu tersekat-sekat pada pembuluh lehernya sehingga ia perlu membumbui senyumnya dengan suara gugup.
"Ia sudah kawin, Wahab, barusan saja."
"Berapa jam yang lalu?" tanya Wahab gugup pula.
Dan dengan suara ramah yang tetap dipertahankannya sekali pun gugup. Orang tua itu mempcrbaiki kesalahan Wahab dengan jawabannya.
"Beberapa minggu yang lalu."
"Jadi, kira-kira ketika aku masih di hutan," kata Wahab.
"Ya."
"Jadi kira-kira ketika aku sedang berhadapan dengan maut di front," kata Wahab.
"Ya."
Dan kini, Wahab berada di restoran sambil mcmcgang crat-erat pada gelas air jeruk dinginnya, menatap wanita di meja yang agak jauh itu, dengan sikap yang agak berbeda, "Engkau tentu telah kawin dan punya anak, begitu juga dengan diriku, aku telah kawin dan punya anak. Jika sebentar ini tadi aku merasa muak melihatmu, itu karena kenangan jijik yang sebentar mampir di kepalaku. Oh, tidak, tidak, Sumiwi, aku tak mau menyesali yang sudah terjadi."
Tetapi aneh, wanita yang sedang ditantangnya, yang menyembunyikan wajah di balik bunga-bunga dalam vas itu, tetap tersiksa sendiri. Wahab tak tahu apa yang sedang dipikirnya ketika itu. Ia melihat wanita itu menulis di sebuah kertas dengan agak tergesa-gesa, dan, Wahab tahu sekarang, bahwa wanita itu menulis sebuah surat untuknya (benarkah yang kupikirkan ini?). Kemudian, wanita itu melipat kertas itu, lalu memandang kepada Wahab dengan pandangan yang benar-benar mengharap.
Surat itu ditaruhnya di bawah vas.
Wanita itu menatap Wahab setelah menaruh kertas itu di bawah vas:
(Sebuah surat untuk kau. Ambillah setelah aku pergi).
Wahab menatap wanita itu tajam-tajam: (Aku mengerti)
Wanita itu menatap Wahab dengan tajam lagi sekali:
(Aku tetah kawin. Jangan bikin gara-gara)
Wahab membalas pandangan itu, menerkam mata wanita itu dibalik bunga-bunga:
(Aku bukan bajingan tengik. Aku sudah dewasa)
Wanita itu mengembangkan matanya dengan linangan menyesal:
(Maafkan aku)
Wahab menatapnya lagi, dengan sedikit mengangguk:
(Selamat malam)
(Selamat malam. Ssst, suamiku datang).
Wahab menoleh ketika wanita itu menengok air di gelas.
Wahab melihat seorang lelaki datang dengan perut agak gendut serta berusia agak lanjut, tergopoh-gopoh berkata.
"Kom, kom, Wieke!"
Baca selanjutnya, klik disini.
