Dosa Kita Semua - Part VIII

0
Part - 8

Dengan menjetikkan suara mengadu jari ia memanggil "jongos restoran" dan membayar setelah mengatakan "hoefil" kepada orang yang ditanyainya. Dalam bahasa yang bukan bahasanya, lelaki itu berkata kepada wanita itu, bahwa mereka sial, karena uang yang duaratus ribu yang harus diterimanya sebcntar tadi, ternyata diserobot oleh seorang makelar, karena itu kita harus menyogok seorang penting untuk menggencetnya.
Ketika kedua orang itu lenyap, Wahab berdiri dan mengambil lembaran kertas yang terhimpit di bawah vas itu.
Ketika ia melihat ke sekeliling, Wahab kepergok dengan pelayan restoran, tetapi untuk peristiwa pemergokan ini, Wahab melemparkan sepucuk senyum kepada pelayan itu. Ternyata ada dua lembar kertas:
RESTORAN PEH CIN
TELOK — BETONG
Silahkan tuan tulis makanan & minuman yang tuan pesan:
Wahab,
Sebenarnya dalam segala hal, kita dikuasai oleh waktu. Waktu kau berangkat ke front Batu raja, sekonyong-konyong ibumu mendatangi rumahku dan menuduhku seorang perempuan mata duitan, dan aku dapat membonceng kebanggaan punya kekasih seorang pejuang. Pada bulan Oktober 1949 tanggal duabelas —
(lembaran kedua):
SYAMSUDDIN & CO
EXPORTIR IMPORTIR
Jakarta
— aku dikawinkan oleh ibuku dengan nama yang tertera di kop kertas ini, karena keadaan kehidupan yang mendesak. Sekarang aku menetap di Jakarta, kalau kau sudi, mampirlah ke rumah kami. Alamat di bawah. Suamikn biasanya hanya lima hari di Jakarta, sclebihnya Hongkong, Singapore, Makasar atau Telukbetung, Kami lagi bervakansi ke sini.
Kalimat-kalimat terakhir dari surat itu dirasakan oleh Wahab sebagai tawaran rendah untuk sebuah rendezvous di Jakarta ketika sang suami tidak di rumah, oleh seorang istri yang mengharap agar kesepiannya dasi.
Tetapi prasangka itu segera diterbangkannya ke jagat yang kosong ketika ia kembali ke hotel. Ia merasa, dirinya takkan segoblok itu akan jadi tukang-hibur seorang istri yang bukan istrinya, karena selama ini ia sudah kenyang mendapatkan wanita dengan kekayaan sebagai alat penawaran.
Pikiran suci! Pikiran suci! Ketika itu ia naik tangga hotel ke tingkat atas. Dan ketika itulah ia ingat istrinya.
Ia duduk di teras, dan kembali mencongokkan lehernya ketika didengarnya suara dengkur yang dahsyat menghantu; Kapten Berek Kandilla, mengisi kesunyian dengan bunyi dengkurnya yang cukup khas itu.
Dilihatnya jam arlojinya: sepuluh menit lagi jam sepuluh. Ia berdiri ke pagar teras, melihat ke bawah, kalau-kalau keponakannya datang.
Waktu yang sepuluh menit itu tidak kosong begitu saja. Wahab, sebagai seorang suami, yang tahu bahwa dia telah melanggar sebuah tanggung jawab keluarga, ingat dan menyadari akan kesalahan yang telah dibuatnya dua tahun yang lewat.
Waktu itu pagi hari sekali, ia membangunkan istrinya yang sedang tidur pula.
"Rom, Romlah, bangun, bangun," katanya dahulu, dan itu dua tahun yang lewat.
5
Dl MALAM INI, puluhan kilometer dari kota tempat Wahab diamuk kenangan, seorang perempuan dibangunkan oleh amukan mimpi.
Romlah terbangun dari balai-balai tcmpat ia tidur. Waktu itu bunyi lonceng tangsi pos polisi Pringombo berdentang sepuluh kali. Rambut perempuan itu kusut masai, dadanya berdebar tidak menentu: Heran, dadanya bergoncang lebih kencang dari biasa.
Sudah jam sepuluh malam, pikirnya.
Aku sedang dibicarakan orang, pikirnya, seperti yang dikatakan oleh Mutalib tadi siang kepadanya. Tentu sekarang, ya, malam begini ini, Mutalib datang ke hotel Arab itu, lalu memperbincangkan tentang diriku kepada pamannya dan Wahab akan mengutukku dengan seribu sumpah. Aku akan malu melihatnya, ataukah, apa tidak lebih baik bunuh diri saja? Di mana-mana, lelaki selalu menjadi permulaan dari biang keladi, biang keladi apapun! Dan bagaimana dengan anak-anak jika aku mati — misalnya.
Dibunuhnya? Wahab kukenal sebagai seorang lelaki yang kasar, pemarah sekalipun terkadang memiliki sifat-sifat lembut dan asih.
Tiba-tiba ia ingat pada kelembutan itu. O, sudah terlalu lama rasanya! Lalu ia mencoba berjalan. Dilihatnya telapak tangannya: tangan yang keras, bekas memegang cangkul dan parang, bekas kena iris lading dan pisau: tangan seorang perempuan yang tidak luput dari segala kerja.
Romlah duduk di sebuah kursi tua sambil menekan nafasnya. Di luar terdengar suara burung hantu yang disahuti oleh burung pipit yang menyanyi, sebuah nyanyian yang meremangkan. Ia melihat ke balai yang lain, di situ anak-anaknya tiga orang dan masih kecil-kecil tertidur dengan amannya.
Itu, Ruchani, anaknya yang tertua dari perkawinannya dengan Wahab, adalah anak yang terlalu manja, sebagai buah dari kecintaan perkawinan yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh di akhir tahun 1949.
Itu, Wahardi, anaknya yang kedua, seorang anak lelaki yang nakal, dengan roman muka yang sama menyerupai dengan Wahab! Belakangan ini anak itu tidak pernah melupakan kerbaunya, kambingnya dan sudah biasa mandi di sungai.
Itu, Sumiati, anaknya yang ketiga, seorang anak yang pintar ngomong sekalipun barusan berusia tiga tahun. Ketika ayahnya pergi dahulu ia masih merangkak-rangkak. Dan belakangan ini, anak itu selalu dengan asyiknya bermain dengan lumpur.
Perempuan itu dengan airmata yang tidak pernah jatuh menetes, menahan bendungan air matanya seketika memandangi buah-buah hatinya dari perkawinan masa lampaunya itu.
Ia ingat, mengapa dia dulu ikut lari ke kota dengan sebuah bis dari Pringsewu ke Tanjung karang. Kata-kata ayahnya yang sangat melukai perasaannya telah menyebabkan ia menjadi kalap, sehingga tiada jalan lain selain melarikan diri bersama anaknya Suramah, yang ketika itu telah berusia enam tahun. Suramah menangis-nangis memanggil nama bapaknya berkali-kali, tetapi dia berbisik ke telinga Suramah, "Bapak nakal, ya? Jangan mau sama bapak ya?"
Karena itu, di antara bunyi goncangan oto, ia dengar suara ayahnya masih sempurna di telinganya, "Kau perempuan! Tidak ada perempuan di dunia ini yang tidak turut perintah lelaki!" kata-kata ayahnya itu berulang-ulang berdengung di telinganya.
Siang sebelum ia melarikan diri itu, suaminya menampar mukanya karena ia tidak sudi menyerahkan kalung emasnya. Ia tahu bahwa kalung itu adalah kalungnya yang penghabisan dan harta emasnya yang ada di tubuhnya. Dan ia tahu, bahwa suaminya akan pergi ke tempat judi di sore harinya, setelah kalung itu —sekiranya diserahkannya — digadaikan di pegadaian gelap.
"Ceraikan aku! Ceraikan aku! Ceraikan! Aku tak sudi hidup tersiksa bersamamu selama ini!" teriaknya di siang hari itu.
Betapa ia takkan lupa tamparan bertubi-tubi menempel di pipinya yang masih cukup halus itu. Tetapi tidak itu saja; Hal ini telah berulangkali terjadi, terjadi, terjadi. Dan masih ada buntutnya: Ayahnya sendiri ikut mengemplangi pipinya karena ia tak mau takluk pada kehendak suaminya itu.
Suaminya itu — suaminya yang dulu itu — bemama Madikin.
Dari Madikin ia hanya diberkahi seorang anak bemama Suramah, yang ketika dibawanya melarikan diri dengan naik bis itu senantiasa menangis saja!
"Diamlah, diamlah," bisiknya.
Anak itu masih tetap menangis.
"Diamlah, mengapa menangisi bapak penjudi."

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)