Dosa Kita Semua - Part IX

0
Part - 9

Seorang perempuan tua, dengan sugi dimoncongkan, menoleh kepada Romlah dan anaknya. Dan ketika mata tua itu bertemu lagi dengan mata Romlah, perempuan tua itu mengambil sugi dari mulutnya, kemudian berkata.

"Kalau dia tak mau berhenti, sumpal mulutnya."

Romlah melihat dengan pandangan kagum kepada wanita tua itu. Melihat dari cara tutur bahasanya, nenek itu tentu berasal dari Pringsewu juga.

"Aku juga pernah mengalami kejadian macam begini," perempuan tua itu tanpa bertanya menceritakan tentang diri sendiri.

"Kenapa, Bu?" tanya Romlah kemudian.

Anak itu masih menangis, ketika ibu yang tua itu melanjuti,

"Sumpal mulutnya. Aku juga pernah mengalami nasib macam kau, tetapi lama-lama ia akan lebih setia kepadamu daripada kepada bekas suamimu."

Truck yang dirobah sedemikian rupa menjadi sebuah bis untuk manusia-manusia yang dikurniai nasib ikan pepesan itu ketika mendekati jalan yang menuju Penengahan, jalannya semakin macam orang mabok. Kemudian berhenti di sebuah pendakian menikung. Keneknya meloncat turun dan mengganjal bannya.

Segera mesinnya mati.

Bau apak segera saja berkobar karena minyak getah itu, dan rupa-rupanya bis bobrok itu kehausan. Kenek telah memberinya minum, lalu starter ditekan lagi, mengeluarkan bunyi kambing kedinginan.

Dan seperti berjalan seperti meloncat, lalu lambat-lambat merambati bukit.

"Mobil sekarang," kata seorang.

"Biar jelek juga, Bung, kita sekarang sudah merdeka," jawab seorang, Nenek tua itu berkata lagi.

"Kau ditampari suamimu maka minggat?"

Romlah mengangguk. Tetapi cepat saja ia mengangkat dagu memandangi nenek itu dengan kagum sekali lagi.

"Dari mana ibu tahu saya ditampari?"

"Pipimu itu, biru-biru. Aku juga mengalami yang begitu dulu. Kubawa anakku lari, tetapi akhirnya aku kembali kepadanya setelah dia sadar."

"Aku," jawab Romlah "takkan kembali kepadanya sekalipun dia sadar. Dikutuk Gusti Allah aku takkan kembali kepadanya."

"Aku juga begitu dulu, sumpah macam kau ini! Tetapi akhirnya aku belas kasihan kepada lakiku. Juga kepada anakku — ya, ya, anak-anak wanita membutuhkan lindungan bapak memang, nak — lalu, aku kembali kepadanya. Tetapi apa yang terjadi? Sumpah lelaki sama saja sumpah wanita —: Lakiku kembali berjudi, dan aku kembali ditampari. Akhirnya ...," kemudian dilihatnya pipi Romlah yang biru-biru masih, berkata kemudian,

"Akhirnya pipi perempuan jadi kebal jika saban hari dikemplangi lelaki," nenck tua itu tertawa sehingga suginya jatuh. Sugi itu hampir terinjak tetapi segera disambarnya dengan tangan dan kembali ke mahkota semula, bibir sang nenek.

"Aku peringatkan, di Tanjung karang kehidupan sulit karena Belanda mau pergi ini."

"Ya."

"Aku peringatkan, jangan sampai kau jatuh ke tangan lelaki yang lebih kejam dari suamimu, lelaki yang suka membeli perempuan."

"Ya."

"Aku peringatkan, kau jangan menangis jika kelaparan."

"Ya."

"Aku peringatkan, tapi he, di mana kau menginap di Tanjung karang?"

Romlah terdiam oleh pertanyaan dan peringatan itu. Setelah menggeleng, berkatalah Romlah dengan keberanian yang dibikin-bikin, "Di mana, saja."

"Di mana saja? Jadi, kau, sebagai perempuan, akan menarok dirimu di mana saja? Sekali waktu setan liwat, kau masih berkata: di mana saja? Hu-huh ...," sekali lagi sugi jatuh, tetapi kali ini tak bisa diselamatkan: sugi itu terpental ke jendela, lalu meloncat ke alam bebas, hilang tak tentu di mana daerahnya!

Setelah tergagau karena meloncatnya sang sugi, nenek tua itu kemudian melihat kepada Romlah sambil berkata sedih.

"Sugiku terbang."

Romlah tertarik kepada perempuan tua itu, karena cara-caranya yang lucu itu, dan ia mulai berani menanya.

"Di mana ibu tinggal?"

"Di Tanjung karang, di Teluk betung, di Lungsir, banyak, banyak sekali. Aku sudah tua, dan mendatangi cucu-cucuku."

Kemudian berkata kepada Romlah yang sedang memangku sang anak yang menjatuhkan kepala di buah dadanya, "Lihatlah, karena terlalu banyak menangis, anak-anak akhirnya capek, lalu tidur."

Romlah tersenyum. itulah pertama kali dia tersenyum dengan manisnya, sehingga kemanisan itu tertangkap oleh nenek tua.

"Kau masih manis, Nak," katanya terakhir.

Romlah dengan amat malu oleh pujian itu cepat menutupi mulutnya dengan kain kerudungnya yang hitam, tetapi mulut itu kelihatan lagi ketika kain itu terjelai diloncatkan angin dan kini keningnya ikut terbuka juga, anak rambutnya bergerai-gerai bermain di halaman keningnya!

"Kau masih cantik, anak, masih laku."

Bis tua dan bobrok itu akhirnya selamat juga sampai di Tanjung karang. Kota itu menerkamnya, biarpun dahulu ia sering datang kemari. Tetapi suasana seperti pesta kelihatan di wajah kota itu, menyambut kekalahan Belanda di meja perundingan KMB.

Kali ini Romlah turun mencecahkan kakinya untuk pertama kali dengan tanggungjawab seorang diri, tanpa ditemani oleh orang lain kecuali anak perempuannya Suramah.

Beberapa orang Belanda masih kelihatan berjalan dengan wajah-wajah yang murung. Dan beberapa orang tentara Republik juga telah kelihatan berkeliaran bergerombol-gerombolan dengan sikap yang ketagihan dihormati.

Romlah seperti mencari-cari sesuatu ketika ia masih berdiri di tepi jalan dan anaknya kali ini tidak menangis lagi karena melihat banyak yang belum pernah dilihatnya selama ini.

Nenek tua itu juga seperti kehilangan teman lalu akhirnya mendapatkan Romlah.

"Siapa yang kau cari?" tanya perempuan tua itu.

Romlah terkejut ada yang menegornya, dan menjadi lega ketika yang dilihatnya adalah nenek tua yang sebis dengan dia tadi.

"Siapa yang kau cari.hmm?"

"Tidak ada," jawab Romlah.

"Tetapi mengapa kau cunguk-cungukkan kepalamu seperti mencari orang?" Romlah terdiam, karena ia memang sadar kemudian, bahwa memang tak ada yang dicarinya dan mengapa pula ia cunguk-cungukkan kepalanya.

"Kau mau jadi babu?" tanya nenek tua itu.

Seperti dikejutkan wajah Romlah gamang sebentar, karena jabatan yang barusan ditawarkan itu tak pernah diimpikannya selama ini. Yang ia impikan selama ini bukan jadi babu, tetapi jadi seorang nyonya yang kaya raya!

"Mau ?"
Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)