Dosa Kita Semua - Part X

0
Part - 9

Setelah melihat kepada anaknya, Romlah duduk jongkok di iepi jalan itu, memeluk anaknya dengan mesra sambil berbisik,

"Aku akan jadi babu nenek ini. Kau jangan nakal-nakal ya?"

Suramah mengangguk-angguk mengikuti anggukan ibunya.

"Mau?" tanya perempuan tua itu lagi.

"Dia mau," kata Romlah sambil menunjuk anaknya.

"Bukan dia!" suara nenek tua itu keras sedikit, "bukan dia yang kuinginkan, tctapi kau!"

Romlah mengangguk.

"Ikuti ke mana aku pergi," kata nenek tua itu sambil mulai melangkah.

Sekalipun tua, nenek ini kelihatannya fasih sekali dengan jalan dan gang yang harus dan akan dilaluinya. Ia terus ikut, ikut dan ikut, sampai akhirnya sampai ke sebuah kampung di pinggir kota yang tak ia ketahui namanya, tetapi nenek itu mengatakan nama kampung itu Durian Payung.

Durian Payung!

Nama yang cukup menyolok, tetapi tak pernah tergambar dalam angan-angan sederhana wanita macam Romlah dan memang tidak diperlukan olehnya makna dan nama itu pada saat itu.

"Cucuku banyak, lelaki ada, perempuan ada," kata nenek tua itu memperkenalkan penghuni rumah itu.

"Kau lihat sendiri banyaknya! Mereka selalu membikin hatiku susah. Mereka berganti-ganti saja datang kemari, menompang nginap di rumahku, tanpa menolong membelikanku baju. Dia tidak datang sendiri pula biasanya, selalu saja dengan istrinya!" akhirnya perempuan tua itu menguluk cucu-cucunya serta istri-istri atau suami-suami cucunya sekaligus.

"Tugasmu enteng! Pertama memasak. Sudah itu menyeterika, kalau perlu, tetapi yang penting; menimba air dimasukkan ke dalam bak di belakang itu."

Pada hari pertama ia bertugas seperti yang dikehendaki dengan baik oleh nenek tua itu. Pada hari kedua ia melakukan tugas dengan baik pula, dan mengagumi kebaikan cucu-cucu nenek yang datang itu. Malamnya teringat nasib jelek yang menimpanya.

Pada esok siangnya ia menangis masuk kamar, dan nenek tua itu mengetuk pintu. Akhirnya ia buka juga pintu itu dengan kesal.

"Kenapa kau nangis, Rom?"

Romlah melihatnya dengan mata yang mengadu. Nenek tua itu pandai sekali dalam menerka, sehingga ia berkata dengan suara maafnya.

"Aku lupa memberi tahu waktu kau datang. Ini: Cucuku yang lelaki ada juga yang nakal, kadang-kadang mencubit pipimu, begitu?"

Romlah mengangguk. Lalu menahan airmatanya yang hampir jatuh.

"Adatnya lelaki. Tiap lelaki senantiasa nakal."

"Tetapi bukan pipi saja," kata Romlah.

Romlah menjatuhkan pandangan matanya ke dadanya sendiri.

Lalu ia telungkupkan kepalanya pada balai-balai.

"Aku mau pergi dari sini," katanya.

Nenek tua itu berkata dengan suara mengancam, "Ke mana?"

" Pulang!'

"Bagus. Ini kuberi uang untuk pulang sebagai upahmu tiga hari. Kau pulang, lalu mengantarkan pipimu yang bagus itu untuk dikemplangi, dan apa lagi? Sebelum kau berumur lima puluh, kau telah mampus," nenek itu memperbaiki suginya.

"Kalau kau jadi babu, itu berarti kau mengabdi pada tugasmu di rumah. Siapa saja yang memperlakukan kau apa yang dikehendakinya, kau musti turut. Jadi bukan nimba air dan masak saja!"

Romlah bangkit menantang nenek tua itu. Katanya, "Aku cuma mau jadi babu saja. Masak nimba air, nyeterika saja. Lain dari itu tidak."

"Itulah namanya termasuk nyonya besar," kata nenek tua ini sambil menangkap suginya dengan sigap dan berhasil ditangkapnya dan dilumatnya ke moncongnya. Romlah menjawab.

"Ya. Aku tak mau tubuhku dijamah lelaki. Biarpun itu cucu ibu." Nenek tua itu naik pitam agaknya sehingga berkata.

"Pantes! Pantes kau dikemplangi karena mulutmu bijak."

"Aku cuma menghargai kehormatanku."

"Kehormatan! Kehormatan. Kita perempuan-perempuan adalah anjing-anjing piaraan saja. Lain tidak. Kalau pun akhirnya kita jadi istri yang sah, itu karena surat kawin saja. Betul tidak?"

Perasaan kewanitaan Romlah jadi tersinggung mendengar kata-kata yang bertubuh syaitan itu. Ia segera meloncat dan mendorong perempuan tua itu ke luar lalu menutup pintu.

Inilah unluk pertama kali dia benar- benar menumpahkan seisi air di matanya. Sampai sore, sumber dari segala sumber jiwa seorang wanita itu, tak henti-hentinya mengalir melalui matanya.

Pada sore hari ketika anaknya Suramah pulang cepat-cepat dimasukkannya anaknya ke dalam kamarnya yang benar-benar rongsok itu. lalu berbisik, "Di sini juga banyak orang jahat, Suramah. Kita pergi ya?"

Anak itu tidak banyak waktu untuk segera saja mengangguk.

"Kau akan menyesal, Rom. Kau akan ketemu dengan lelaki di tengah jalan yang lebih nakal dari cucuku yang memegang anumu itu, lalu kau akhirnya datang ke sini lagi. Percayalah! Kau datang ke sini lagi di lain kali! Aku peringatkan kepadamu, bahwa ini kota. Ini kota!"

Oleh kata-kata mengancam itulah Romlah makin yakin bahwa jiwanya telah diperas. Ia bukan makin lunak pada niatnya untuk enyah dari situ malah sebaliknya: Ia makin yakin untuk terbang dari sana, ke mana? Ke mana saja!

Dia ke luar dari halaman rumah itu dalam tangisan yang menguak, dan ia dengar ada dua orang lelaki menegurnya tetapi ia terus berlalu.

Seorang lelaki lewat, dan melihat perempuan itu serta anaknya ikut menangis terhenti. Ia ditegur oleh lelaki itu dengan suara yang tidak meragukan. Hati nurani perempuan dalam tuturan panca indranya segera bisa menjamah, menjamah dengan tangan angin yang berhembus ke hatinya, siapakah yang harus diladeni dan yang bukan, kalau yang akan diladeninya itu benar-benar mcmancarkan kekuatan gaib dari lubuk hati pula!

Romiah mengangkat kepala.

Seorang lelaki.

"Kamu datang dari rumah itu?"

"Ya, Tuan."

"Jangan panggil saya tuan. Saya Pak Kapten!"

"Ya. Pak Kapten," sahut Romlah mengikuti.

6

WAKTU ITU saya sedang gila-gilaan. Perang sudah selesai, pikir saya, apa lagi? Bayangkan saja, tuan Berek Kandilla! Seorang anak muda pulang bertempur, keluarga lenyap kecuali keponakan saya yang ketika itu masih bcrumur duabelas tahun selamat. Dialah yang saya tunggu sekarang ini. "Sudah jam berapa?"

Wajah kapten kapal Berek Kandilla ketika itu samar-samar di balik botol-botol bier, dan tangannya menjulur menunjukkan arlojinya.

"Lewat jam sepuluh?" tanya Wahab celaka.

Kapten itu dengan kepala lunglai mengangguk-angguk.

"Jam sepuluh lewat'" ulang Wahab celaka.

"Ya," sahut Berek. "Jam sepuluh lewat. Jangan ragu-ragu, ini jam merk Forlis. Kenapa? Ada janji?"

"Ya."

"Akh farreik, jangan peduli janji dengan keponakan, kalau janji dengan perempuan, hmm, boleh juga, tetapi tentu pemilik hotel Arab ini tidak akan membiarkan pcrempuan illegal masuk, bukan hmm. Hohoo, sampai mana cerita engkau tadi? Bukankah, di Durian Payung, lantas, perempuan itu kemudian ... jadi piaraanmu, bukan?"

Baca selengkapnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)