Dosa Kita Semua - Part XI

0
Part - 10

Mulanya Wahab mengira pcrkataan-perkataan lancang itu dikarenakan sudah mabuknya kapten kapal itu, Tetapi, tidak, ternyata tidak. Ingatannya masih segar rupa-rupanya mendengarkan kisah yang diceritakannya tadi, sehingga kapten itu masih hafal nama-nama tempat kisah itu terjadi.

"Teruslah ceritakan, teruslah, kenapa musti malu-malu sama saya,"

Perasaan aneh ingin menyimpan suatu rahasia mendekapi dada Wahab ketika itu, karena memang benar bahwa mulanya ia "memelihara" perempuan itu, tetapi sececah pun tidak disentuhnya kulit wanita itu apalagi lebih dari itu! Tidak! Pendidikan keagamaan yang sedikit melekat di hatinya, setidak-tidaknya mengganggu setan-setan jahil yang akan berkuasa pada setiap rangsang sumsumnya. Tenaga kelaki-lakiannya dikuasainya baik-baik, sehingga, pada suatu kali ia rupa-rupanya tak bisa membendung arus yang menempa-nempa dadanya.

Malam itu hujan deras sekali di luar, ketika Wahab sama sekali mencoba melenyapkan pikiran-pikiran jahat dari kepalanya.

Dibawanya sebungkus rokok dan ia duduk-duduk di ruang tengah. Dua batang rokok habis memenuhi asbak, tapi pikiran itu bukan lenyap bahkan melonjak-lonjak ke ubun-ubun terus bergerak ke bawah.

Romlah, perempuan itu, bersama anak perempuannya Suramah sedang di gudang belakang sebagai kamar mereka — terutama kamar Romlah — yang paling selamat. Wahab batuk-batuk pada pertengahan batang rokok ke tiga ketika dadanya berdebar.

Didengarnya pintu gudang belakang terbuka, dan Wahab bertindak seakan-akan menutup kupingnya tidak mendengar suara itu.

Tetapi si telinga mendengar juga bunyi gelas, bunyi air yang dituangkan, kemudian bunyi telapak kaki dengan terompah yang kian mendekat. Setan, setan, setan, pergilah kau jauh-jauh!

"Pak Wahab, batuk?"

Wahab menoleh Romlah.

"Ya."

Romlah berjalan maju membawa segelas air yang putih bersih dan di dasar tampak kumpulan kapur sirih sedang turun.

Gelas itu ditaroknya di meja.

"Kalau sudah bening, minumlah air itu, Pak Wahab," kata Romlah.

Perempuan itu, taupa prasangka membalikkan badannya, dan berjalan ke tempat dia tadi datang. Wahab cuma melihat bagian tubuh belakang Romlah ketika itu.

"Rom," kata Wahab tersendat di leher. Seharusnya aku tak ucapkan kata-kata ini! Seharusnya! Aku tentu akan berdosa! Setan! Setan!

Perempuan itu membalikkan tubuhnya. Kini kelihatan bagian depan tubuh wanita itu. Setan! Setan! Mengapa aku sekarang terdiam. Perempuan itu menunggu. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Wahab. Tetapi ia melihat mata Wahab rupa-rupanya, Wahab melihat! Dan Romlah pun menunduk.

Dan Wahab juga tahu mengapa Romlah justru menunduk. Dan ia panggil lagi nama Romlah sekali lagi, dan ketika matanya melihat mata Romlah, ia berdiri. Dan Romlah juga masih berdiri.

Dan, ia melihat Wahab datang mendekat kepadanya. Badan Romlah dingin sekujurnya dengan takut. Ia diam saja.

Tetapi ketika ia merasakan tangan Wahab dengan kepanasan yang ganjil, ia cuma bisa berbisik.

"Jangan."

"Kenapa?"

"Anakku. Anakku! Suramah."

"Kau takut?"

"Ya, aku takut!"

"Apa yang kau takutkan?"

"Pak Wahab. Aku takut Pak Wahab. Jangan Pak Wahab."

"Aku kan tidak apa-apa."

"Lepaskan, Pak Wahab."

"Aku bukan harimau, jangan takut."

"Aku takut si Suramah terbangun."

Perempuan itu yang tadi sekujur dirinya dingin kini menjadi hangat. Dan dipandangnya Wahab berani.

"Aku mau, asal kita kawin lebih dahulu."

"Kawin?" Wahab gelisah, karena perkataan itu selalu memburunya selama ini, sebab perkataan itu membawa sebuah beban di bahu seorang lelaki: tanggungiawab.

"Ya, kawin. Aku mau menyerah bagaimana saja asal setelah kembali dari rumah penghulu. Sekarang, tidurlah Pak Wahab,"

Romlah semakin jauh, mundur, mundur, mundur, dan setan-setan yang tadi mendesaki denyut nafas Wahab sekarang menyoraki dirinya dengan ketawa mengejek, dan Wahab malu, dan badannya dingin.

Air kapur di gelas sudah dingin. Batuknya datang. Diminum air itu. Dadanya merasa nyaman dan hatinya kini merasa aman.

Untuk pertama kali ia gagal.

Tetapi, seperti api dalam sekam yang tidak akan mati sama sekali jika tidak dipadamkan sama sekali pula, maka nyala yang lebih besar akan datang suatu ketika, seperti sebuah tagihan utang yang belum dilunasi. Dan biasanya, setiap utang perlu mendapat pelunasan jika yang berutang tidak pergi ngacir. Dan Wahab tidak ngacir. Dan penagih-penagih datang.

Ketika itu ia pulang larut malam. Tanpa sengaja. Dan memang, selamanya, penagih-penagih utang datangnya tiba-tiba. Diketuknya pintu. Diketuknya pintu. Diketuknya pintu.

Setiap kata selamanya memang memperluang waktu, memperlambat gerak, tetapi setiap gerak selamanya menyita waktu.

Pada paginya, ketika Suramah telah pergi sekolah, Romlah mendatangi Wahab.

"Kawini aku!"

"Nanti akan kukawini," kata Wahab pelahan. Kata-katanya bukan saja pelahan, tetapi kecut. Ia kecut bukan saja kecut untuk melihat Romlah, tetapi kecut memandangi kaca di pagi itu, dan yang benar adalah: Laki-laki itu kecut untuk memikul tanggung jawab atas segala yang pernah dibikinnya.

"Kawini aku. Kalau tidak aku laporkan pada kepala kampung."

"Tunggulah. Tunggulah. Kupikir-pikir dahulu," jawab Wahab.

"Tidak," perempuan itu menangis, "kawini aku atau aku akan menjerit!" Wahab mengumpulkan tenaga, sekuat tenaga, sekali pun nafas dan rongga paru-parunya.

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)