Dosa Kita Semua - Part XII

0
Part - 11

Hatinya menjadi semak ketika itu.

Kekecutan seorang lelaki senantiasa kelihatan pada waktu ia diuji untuk memikul tanggung jawab. Orang mungkin berani dalam bertempur, tetapi dalam satu hal mungkin orang harus menimbang; tanggung jawab yang menyelip di atas nyawa manusia.

"Kawini aku. Atau aku akan bunuh diri."

"Jangan bunuh diri. Orang yang bunuh diri dimasukkan neraka."

"Biar, neraka, sudah terlanjur tak apa! Ha, kau masih tak mau kawini aku?"

"Nanti," Wahab gementar waktu akan mengucapkan kata-kata selanjutnya sekalipun itu telah ditimang-timangnya semenjak bangun tidur, tetapi akhirnya ia berkata juga "Nanti akan aku kawini juga."

Lega rasanya setclah mengucapkan kata itu.

Perempuan itu menangis, lantas menyerangnya dengan pelukan. Kini Wahablah yang ketakutan ketika menerima serangan itu.

Ia tidak berbuat apa-apa, kecuali diam, berdiam seperti patung yang dipeluki.

Perempuan itu akhirnya disuruhnya pergi.

Sampai siang, ketika Suramah pulang, ia masih menangis. Dan anak gadis kecil itu bertanya dengan manja, "Bu, kenapa ibu menangis, Bu?"

"Diamlah, diamlah."

"Ibu sakit, Bu?"

"Diamlah, jantung, diamlah, diamlah Amah!"

Anak itu ikut menangis. Wahab, mendengar tangisan itu. Takutnya timbul lagi. Kini takutnya bukan kepada dirinya atau kepada Romlah atau kepada Suramah, tetapi takut kepada orang-orang sekeliling rumah — orang banyak!

Ia mendatangi.

Yang mula-mula melihat kepadanya adalah Suramah. Dalam pandangan Wahab ketika itu seolah-olah menuntut Wahab terhadap apa yang dilakukannya, tanpa pikir apakah itu masuk akal atau tidak. Kemudian ia memandang Romlah. Kali ini ia benar : Pandangan perempuan itu meminta pertanggungjawaban agar si anak kecil ini jangan tahu apa yang telah terjadi.

Tanggung jawab: Kehidupan berisi kata-kata, perbuatan, untuk dua-duanya dimintai tanggung jawab manusia atas nilai-nilai kehidupan. Itu telah lama terjadi, semenjak Perjanjian Lama ataupun Quran ditulis tentang Eva dan Adam.

Pada hari kelimabelas, setelah kejadian itu, datanglah Romlah:

"Bagaimana? Kenapa kau berdiam diri saja?"

"Aku membutuhkan waktu untuk memikirkannya," jawab Wahab sungguh-sungguh.

Tetapi Romlah berkata garang.

"Jangan permainkan aku sekalipun aku babumu. Sekalipun aku babu, aku manusia juga, dan sebentar lagi aku jadi ibu dari anakmu. Kawini aku."

"Engkau belum tentu hamil oleh karena itu," jawab Wahab enteng, tapi sungguh-sungguh. Romlah terdiam.

"Aku tidak haid lagi," kata perempuan itu perlahan.

"Maksudmu," Wahab tak berani meneruskan.

"Ya. Kawini aku. Bawa aku ke penghulu hari ini juga."

Kalau pada malam dahulu perempuan itulah yang menyerah, kali ini Wahablah yang menyerah: Ia menyerah pada tuntutan layak dari kehidupan yang menagih utang-utangnya selama ini, yaitu tanggung jawab. Kenangan itu lenyap sesaat.

Bila diangkatnya kepala, dilihatnya Kapten Berek Kandilla dengan kepalanya yang berat itu tertidur dengan ngorok di hadapannya. Rantai arloji Fortis yang membelit di tangannya melupakan orang sejenak pada jabatannya: Orang ini kaya dengan uang dan benda, sekalipun dalam pengakuan sehari-harinya dalam percakapan dengan Wahab selalu berisi dusta-dusta pada setiap orang, bahwa, sebenarnya ia adalah orang yang paling miskin dengan kegembiraan sejati, jadi, bukan kegembiraan yang dibikin-bikin. Kegembiraan sejati ada bila manusia tahu, bahwa hidupnya bukanlah sebuah barang mainan yang mempermainkannya yang membikin dia ketawa, tetapi kapten kapal bocor Kandilla tidaklah demikian, melainkan: seperti Wahab tahu, kapten ini seperti boneka yang dipermainkan oleh barang mainan. Bukan ia yang mempermainkan kapalnya yang bocor, tapi kapalnya yang bocor yang mempemainkan ia!

Jam Fortis itu dilihat Wahab telah menunjukkan angka setengah sebelas.

Detik-detik jam dinding di rumah Mutalib berdetak dengan ketukan yang lamban kedengarannya. Mutalib ketika itu sedang tidur di sebelah istrinya, Suramah itu, tampak sesak nafasnya, karena memanglah setiap wanita hamil tidak bisa tidur dengan nafas teratur. Mutalib tahu hari telah hampir tengah malam, tapi ia ingat dengan janji kepada pamannya di siang tadi.

Suramah terbangun. Dilihatnya Mutalib belum tidur.

"Kakiku pegal-pegal, Kak Talib," katanya.

"Aku tidak bisa tidur."

"He, dengar, perutku bergerak-gerak," katanya, "bergerak-gerak lagi."

Mutalib meraba perut istrinya seperti biasa dilakukannya.

Memang gembira ia merasakan bakal anak manusia itu bcrontak-berontak dalam perut ibunya.

Ia tertawa pelahan, sekalipun dipaksakan.

"Kenapa kau belum tidur?"

"Aku ada janji dengan pamanku," katanya.

"Tidak boleh pergi. Kenapa musti mementingkan dirinya lagi. Ia telah berkhianat pada ibuku. Ia harus menebusnya,"

"Aku kasihan padanya. Ia telah banyak berjasa pada diriku, melatih aku jadi dewasa, belajar berani melawan hidup. Juga pada kau. Bukankah dia yang memasukkan kau ke sekolah SKP?"

Suramah terdiam, memang bcnar, pikirnya. Tapi bukankah itu kewajiban, sekalipun ia tahu bahwa Wahab adalah bapak tirinya?

Tetapi, apakah bapak tiri bebas pula dari kewajiban sebagai seorang bapak?

Namun perempuan yang bakal jadi ibu itu terdiam saja.

"Aku tahu pamanmu berjasa padamu, padaku atau mungkin pada setiap orang. Tapi berbuat jasa dengan tanggung-tanggung — seperti dia mengawini ibu — itu juga suatu yang tak benar, Kak Talib. Percayalah, aku memang telah membalas jasanya dengan air tuba, memfitnahnya telah berlaku serong dengan wanita lain ketika ia pergi dahulu — cuma untuk memberikan bibit kebencian kepada ibuku agar ibuku kembali kepada ayahku. Aku telah berhasil nnenginsyafi ayahku untuk menginsyafi hidup, mengapa yang baik itu harus dirusak lagi atas kedatangannya? Apakah ia akan dua kali dilukai? Aku tahu benar, bagaimana sekarang ayah mati-matian bekerja di tanggul sawah, mengerjakan sawah ibu — untuk kepentingan siapa? Untuk anak pamanmu, yaitu adik-adikku juga. Kadang-kadang ayah bercerita bagaimana ia bertemu ular sawah di malam-malam begini, bagaimana nyamuk banyaknya pada saat begini seorang petani sedang menyalurkan air, membagikan air-air itu untuk sawah-sawahnya. Karena, aku lahir di sana, di antara petak-petakan sawah!"

Malam itu Suramah tanpa diminta banyak menceritakan bagaimana rasanya main gobak di dekat langgar Pringombo, bagaimana indahnya masa kecil.

"Kalau ingat masa kecil yang tidak banyak cerewet itu, dibanding dengan hidup yang makin susah di masa dewasa, kepingin aku kembali jadi anak-anak. Atau kalau tak dapat juga, kepingin rasanya aku mati sekarang juga," akhirnya Suramah mengakhiri angan-angannya.

"Kalau anakmu lahir, mana yang kau sukai, laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki, juga boleh. Perempuan, juga boleh. Kukira sama saja."

"Lebih baik laki-laki. Dia akan membela adik-adiknya."

Suramah tersenyum. Kemudian menutup matanya.

Jam dinding kini mengetuk-ngetuk malam yang sedang tidur nyenyak.

Bulan terang, langit penuh bintang dan awan kecil-kecil. Malam terang temarang di atas kota itu, kota Tanjung karang, ah, di mana saja, desa mana saja, di mana cahaya bulan sanggup menyiramkan sinarnya.

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)